•  
  •  
 

Abstract

Bhinneka Tunggal Ika is one of the pillars of Indonesia that has placed our nation and nationess to a diversity of identity, from genders, tribes, religions, to cultures. Indonesia has a long history of gender diversity that recognized various gender identities as part of the culture. Henceforth, In Indonesia, gender is not perceived in a binary way between male or female, masculine and feminine, without giving the ‘third space’ to other genders and sexuality. For example, Bugis people recognize five genders: oroané, makkunrai, calabai, calalai, and bissu, which will be examined further in this paper. In reality, a lively debate emerges about “gender pluralism” that is considered not part of Indonesian culture. The rising number of persecution to the minority, including transgender people, has placed them to the most vulnerable groups because of their gender identity. This paper aims to deconstruct the understanding of gender identities in Indonesia through cross-cultural, socio-religious, and postcolonial approaches to develop the cultural history of gender pluralism in Indonesia. To examine further the decolonization of gender identities in Indonesia, the author identifies the process between ‘desire’ and ‘demand’ in terms of ‘The Colonizers’ and ‘The Colonized’ to see how the ‘dominant discourse represents reality about gender identities. By re-imagining ‘binary opposition’ in the ‘on-going’ process of movement happens in intercultural space, the author revives the ‘intersectional space’ of gender identities in Indonesia, as Edward Soja described ‘Third Space’. Research result showed that Bissu’s existence heretofore left ‘the conceived’ and ‘the Lived’ in the Bugis community; thus, it drifted the limited space given to the Bissu in ‘the perceived’. Consequently, it restricted the development of Bissu’s hybrid identity. Henceforth, the revival of malempu and malebbi were required as an intervention about giving back the power of agency within ‘sign games’ to the Bissu.

Bahasa Abstract

Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah satu pilar Indonesia yang melandaskan bangsa dan kebangsaan pada keberagaman identitas, khususnya gender, suku, agama, dan secara umum budaya. Identitas gender di Indonesia tidak dapat dipahami hanya lewat konsep biner antara laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin yang tidak memberikan ”ruang ketiga” untuk gender dan seksualitas lain. Sebagai contoh, inilah lima gender yang dikenal oleh suku Bugis, yaitu oroané, makkunrai, calabai, calalai, dan bissu yang telah diteliti. Realitasnya, pluralisme gender didebat sebagai bukan bagian dari kebudayaan Indonesia. Anggapan itu terlihat dari peningkatan persekusi terhadap minoritas, termasuk terhadap kelompok transgender, kelompok paling rentan terhadap diskriminasi karena identitas gender. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendekonstruksi pemahaman tentang identitas gender di Indonesia dengan pendekatan silang budaya, sosio-religius, dan poskolonial. Penulis akan mengidentifikasi proses terjadinya ”desire” dan ”demand” dalam kaitannya dengan ”The Colonizers” dan ”The Colonized” untuk melihat wacana dominan yang merepresentasikan realitas yang berkaitan dengan identitas gender. Dengan menggambarkan ulang oposisi biner sebagai sebuah pergerakan yang terus berproses dalam ruang interkultural, penulis ini mencoba untuk menghidupkan ”ruang interseksional” identitas gender di Indonesia yang dijelaskan oleh Edward Soja sebagai ”ruang ketiga”. Penelitian ini memperlihatkan bahwa Bissu sudah tidak hadir dalam ”The Conceived” dan ”The Lived” dalam komunitas sehingga menyisakan ruang terbatas bagi Bissu pada ranah ”The Perceived”. Oleh karena itu, penghidupan kembali nilai malempu dan malebbi dibutuhkan sebagai intervensi untuk memberi kembali ”power” kepada agensi dalam “permainan tanda” di komunitas Bissu.

References

Bhabha, Homi. 2004. The Location of Culture. New York: Routledge.

Davies, SG. 2004. It’s like one of those puzzles: Conceptualising gender among Bugis. Journal of GenderStudies 13, no. 2: 107–116. https://doi.org/10.1080/0958923042000217800 [accessed 1 January 2020].

_____. 2018a. Keberagaman Gender di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

_____. 2018b. Gender and Sexual Plurality in Indonesia: Past and Present. New York: Routledge Handbook of Contemporary Indonesia.

Hamka, IH. 2015. Nilai-nilai Kesetaraan Gender dalam Naskah LAGALIGO (Studi Naskat Lontara Bugis Luwu dan Hukum Islam). Makassar: UIN Alauddin Makassar.

Joy, M. 2006. Gender and religion: A volatile mixture. Temenos 42, no. 1: 7–30. https://doi.org/10.33356/temenos.4632 [accessed 1 January 2020]

Lathief, H. 2004. Bissu: Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis. Depok: Desantara Utama.

Pabbajah, M. 2017. Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis-Makassar. Jurnal Al-Ulum 12, no. 2[Desember]: 397–418. https://www.researchgate.net/publication/320830209_RELIGIUSITAS_DAN_KEPERCAYAAN_ORANG_BUGIS-MAKASSAR [accessed 1 January 2020].

Pelras, C. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: École Française d’Extrème-Orient.

Rajan, Balachandra. 1998. Reviews of The Location of Culture. Modern Philology 95, no. 4 [May]: 490–500.https://prelectur.stanford.edu/lecturers/bhabha/mimicry.html [Accessed 3 June 2020].

Republika Online. 2019. Tradisi Bissu di Masyarakat Bugis Terancam Punah Republica.co.id, 27 February. https://internasional.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/pnks4n382/tradisi-Bissu-di-masyarakat-bugis-terancam-punah [accessed 27 December 2019].

Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies. NY: Zed Books.

Soja, Edward. 1996. Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other Real-and-Imagined Places. UK:Blackwell Publishers.

Suliyati, T. 2018. Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi 2, no. 1: 52. https://doi.org/10.14710/endogami.2.1.52-61 [accessed 1 January 2020]

Yin, R.K. 2003. Case Study Research: Design and Methods. 3rd Ed. Canada: Sage Publications.

Share

COinS