•  
  •  
 

Abstract

Mahr was one of the groom's provisions to the bride and regulated by the Islamic sharia. Mahr was one of the series in a marriage procession. Islam regarded mahr as the bride's private rights, so it should not be transferred to her guardian or family. Islam defined mahr as the groom's duty, and it should not be violated. The bride would fully authorize mahr. QS. An-Nisa (4) recited, “And give the women (upon marriage) their (bridal) gifts graciously.” The gift was mahr, whose amount was determined on behalf of two parties' agreement, as it should have been voluntarily given. Nevertheless, mahr could be arranged by a modest and simple principle not to burden the groom. During this time, mahr had been arranged by prestige, status, and economic principles. It might restrict the groom's goodwill to marry the bride because the best mahr was the easiest mahr. Although it was actually not one of the compulsories in an Islamic marriage, it was an obligation for the groom. Mahr given to the bride should meet the following requirements: valuable wealth, a sacred object that gave advantages, a non-ghasab object, a non-abstract object/real object.

Bahasa Abstract

Mahr adalah salah satu ketentuan yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita dan diatur dalam syariah Islam. Mahr adalah salah satu rangkaian dalam prosesi pernikahan. Islam menganggap mahr sebagai hak pribadi mempelai wanita, sehingga tidak boleh dialihkan kepada wali atau keluarganya. Islam mendefinisikan mahr sebagai kewajiban mempelai pria dan tidak boleh dilanggar. Mahr akan diberi wewenang penuh oleh pengantin wanita. QS. An-Nisa (4) berbunyi: "Dan berikan wanita (setelah menikah) hadiah (pengantin) mereka dengan anggun". Hadiah yang diberikan adalah mahr yang jumlahnya ditentukan atas nama kesepakatan kedua belah pihak, sebagaimana seharusnya diberikan secara sukarela. Meski demikian, mahr bisa diatur dengan prinsip yang sederhana agar tidak membebani pengantin pria. Selama ini mahr diatur oleh gengsi, status, dan prinsip ekonomi. Meski sebenarnya bukan salah satu wajib dalam pernikahan islami, itu adalah kewajiban bagi pengantin pria. Mahr yang diberikan kepada mempelai wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: harta benda berharga, benda sakral yang memberi keuntungan, benda non ghasab, benda non abstrak /benda nyata.

References

Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ahmad Zahro, 2018, Fikih Kontemporer Menjawab 111 Masalah Aktual Hukum Islam di Zaman Kitar, Publisher: Qaf Media Kreativa.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram. Darul kutub. Bulughul Maram, Marriage Book, Chapter Shodaq, Hadith No. 10/902.

Halimah B., Konsep Mahar (Maskawin) dalam Tafsir Kontemporer, Al-Daulah Vol. 6/No.2/December 2017. Faculty of Sharia and Law Alauddin Islamic State University Makassar p. 316.

Jaih Mubarok, 2015, Pembaharuan Hukum Perkawinan Di Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung.

Harijah Danis, 2016, Konsep Mahar dalam Perspektif Fikih dan Perundang-undangan Kajian Putusan Nomor 23K/AG/2012. Jurnal Yudisial Vol. 9 No. 1 April 2016.

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Publisher: Mandar Maju, Bandung.

Mukti Arto, 2018. Penemuan Hukum Islam demi Mewujudkan Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan (Jakarta: PT. Gramedia, 2014). Noryamin Aini, Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia, Faculty of Sharia and Law Syarif Hidayatullah Islamic State University Jakarta, Ahkam: Vol. XIV, No. 1,

January 2014, p. 24. Nurjannah, Mahar Pernikahan, (Yogyakarta: Prima Shopi, 2003), p. 24. The writer

quoted the statement from Ibn Abidin in Radd al-Mukhtar and from Ibn

Humam, Syarh Fath al-Qadir.

Ngguli Liwar Mbaniawang, 2018, Penerapan Gugatan Sederhana sebagai Kontribusi terhadap Hukum Acara Perdata Indonesia, Thesis, Program of Study of Master of Law State University of Gorontalo.

Mardani, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu Yogyakarta.

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKIS, 2001. Nasution.

M. Quraish. Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2008. Volume 2.

Muhammad Zuhaily, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi’i (Surabaya: Imtiyaz, 2013), pp. 235-236.

Sahnun al-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra (Beirut: Dar Sadir, 1323 H), III: 214. Slamet Abidin and Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999). Yatno Bangga, 2014, Makna Dutu (Mengantar Harta) dalam Acara Pernikahan

Masyarakat Gorontalo di Kecamatan Duhiadaa Kabupaten Pohuwato, Undergraduate Thesis UIN Makassar Faculty of Ushuluddin, Philosophy, and Politics, pp. 70-71.

Share

COinS