Abstract
The Indonesian government takes two distinct approaches to terrorism cases: a soft approach and a hard approach. One of the approaches that has been successful is deradicalization, which is expected to be the most effective method of combating terrorism. The Detachment 88 Task Force is a special unit of the Indonesian National Police tasked with investigating terrorism-related crimes. Officers from Special Detachment 88 deal directly with perpetrators, witnesses, and families affected by terrorism crimes. The purpose of this study is to evaluate the effectiveness of resocialization as the final stage of deradicalization. Resocialization is the stage which the terrorism inmates reintegrate into society and resume full citizenship. This study employs qualitative research, with primary data coming from ex-convicts of post-conviction terrorism and secondary data coming from Densus 88 officers who accompany the resocialization process. This study applies George C. Edward III's implementation theory to assess the communication, resources, both financial and human, disposition, and bureaucratic structure of the task force of Densus 88, Polri Headquarters.
Bahasa Abstract
Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan pendekatan lunak dan keras dalam penanganan kasus terorisme. Salah satu pendekatan lunak yaitu dengan deradikalisasi yang diharapkan dapat menjadi solusi terbaik dalam penanganan terorisme. Satuan Tugas Detachment 88 merupakan unit khusus dalam Kepolisian Republik Indonesia yang menangani kejahatan terorisme. Petugas Densus langsung berhadapan dengan pelaku, saksi dan keluarga yang terpapar dengan kejahatan terorisme secara langsung dari tahapan awal sampai tahapan akhir. Obyektif dalam penelitian ini tentang implementasi resosialisasi sebagai tahap akhir deradikalisasi. Resosialisasi merupakan tahap sebelum narapidana teroris kembali ke masyarakat dan berfungsi sebagai warga negara yang utuh. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan subjek penelitian adalah mantan narapidana terorisme pasca hukuman sebagai data primer dan petugas Densus 88 yang mendampingi proses resosialisasi sebagai data sekunder. Penelitian menggunakan pendekatan dengan teori implementasi dari George C. Edward III yang mengukur tentangunsur-unsur Komunikasi, sumber daya baik anggaran dan sumber daya manusia, disposisi dan struktur birokrasi dalam satuan tugas Densus 88 Mabes Polri.
References
INTRODUCTION
Penanganan para pelaku kejahatan tidak hanya berfokus pada tahapan awal, proses pengadilan, masa pembinaan di lembaga pemasyarakatan dan proses reintegrasi. Proses pengembalian para teroris kembali ke masyarakat ini juga menjadi tahapan yang kritis. Menurut Ismail dan Sim (2016), pada tahun 2013, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan bahwa 25 dari 300 teroris yang dibebaskan dari penjara telah kembali ke jaringan teror lama mereka, dan diperkirakan tingkat residivisme menjadi meningkat setidaknya 15 persen. Angka ini belum dihitung untuk beberapa yang baru saja pergi ke Suriah bergabung dengan ISIS setelah bebas. Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan seperti Bagaimana mereka bisa kembali ke jaringannya? Siapa yang akan memantau mereka? Apakah mereka akan akan melakukan aksi teror lagi? Atau apakah mereka akan dijauhkan dari jaringan terorisme setelah dibebaskan dari penjara (Horgan & Braddock, 2010) Belum adanya program valid yang diklaim berhasi menjalankan deradikalisasi, dan masih banyak faktor seperti budaya, psikologis, dan pendidikan yang terlibat. Di Australia, akibatnya, program dianggap tidak ada gunanya dan dikritik oleh beberapa Muslim berpengaruh (The Guardian, 2016).
Pendekatan deradikalisasi tampaknya gagal membangun pemikiran konstruktif dalam memerangi paham ekstremis, yang menyebabkan semakin banyak dana yang digunakan tanpa hasil yang signifikan. Masih ada perdebatan dalam kata 'deradikalisasi' itu sendiri karena tidak ada konsensus tentang apa arti dan tujuan sebenarnya.
Sebagaimana yang dijelaskan Undang-Undang, deradikalisasi dilaksanakan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme didampingi kementerian/ lembaga terkait. Deradikalisasi pada ayat (2) disampaikan secara bertahap melalui empat (4) tahapan yaitu: tahap identifikasi dan penilaian sebagai tahap mengumpulkan data dan identitas. Tahap kedua adalah rehabilitasi, yaitu rahap pemuihan baik secara mindset, psikilogis dan psikis. Tahap ketiga adalah reedukasi yaitu mendidik ulang mengenai pemahaman kebangsaan, toleransi dan agama dan tahap terakhir yaitu reintegrasi sosial. Tahapan ini pun di implementasikan oleh personil khusus Densus 88 Polri.
Hikam (2016) menambahkan bahwa pemerintah Indonesia harus tetap bergantung pada program deradikalisasi karena merupakan pendekatan lunak yang melibatkan partisipasi publik.
Tahapan Resosialisasi merupakan upaya pembinaan yang integratif dalam menyatukan warga binaan sosial dan keluarganya dengan damai. Sedangkan upaya pembinaan kepribadian dan kemandirian yang integratif untuk mengembalikan warga binaan ke masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan sasaran secara khusus.
Ada ketakutan bagi para warga binaan sosial saat kembali ke masyarakat, sehingga pendampingan kepribadian dengan dukungan psikologis dalam membangun rasa percaya diri berbaur dengan masyarakat merupakan upaya memperkuat pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang moderat, damai dan menghargai perbedaan, sedangkan pembinaan kemandirian adalah memberikan pelatihan-pelatihan keahlian sesuai dengan minat dan bakat warga binaan atau keluarga sebagai modal dalam melanjutkan kehidupan yang normal seperti warga lainnya.
Satuan khusus anti teror Republik Indonesia yang dinamakan Detasemen Khusus 88 Anti Teror merupakan satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan terorisme di Indonesia. Pasukan khusus ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom (dalam website: https://www.polisi.com/detasemen-khusus-densus-88-anti-teror). Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara R.I.
Densus 88 adalah salah satu dari unit antiteror di Indonesia, di samping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopasus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan antiteror), Detasemen Jala Mengkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo 90 (Denbravo) TNI AU, dan Satuan Antiteror BIN.
Dalam prakteknya, personil Densus 88 yang mendampingi saat proses penangkapan, pengadilan, dalam menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyaratan sampai proses pemulangan.
Dasar hukum dari Densus melalukan tahapan Resosialisasi ini adalah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Deradikalisasi Tindak Pidana Terorisme.
Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengkaji apakah program resosialisasi yang dijalankan Densus 88 efekti atau tidak.
Implementasi yang dijalankan oleh personil Densus 88 tersebut diukur dengan teori yang dikemukakan oeh George C. Edward III. Parameter yang digunakan memiliki empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan birokrasi (Leo Agustino, 2008).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara yang mendalam kepada:
- narapidana teroris yang diberikan proses resosialisasi oleh personil Densus 88
- persomil Densus 88
- keluarga para napiter
Teknik triangulasi data juga digunakan untuk mendapatkan keabsahan data yang didapat.
KAJIAN TEORI
Deradikalisasi
Setidaknya ada dua pendekatan yang dilakukan oleh negara dalam penanganan terorisme, hard approach dan soft approach. Hard approach merupakan usaha pemerintah melalui penegakan hukum sedangkan soft approach melalui pendekatan lunak seperti pendekatan ideologis dan keagamaan dan pendekatan sosio kultural dan politis. Salah satu pendekatan lunak (soft approach) yang dierapkan oleh pemerintah salah satunya dengan program deradikalisasi. Lebih lanjut mengenai penjelasan Undang-Undang Terorisme No. 5 tahun 2018 Pasal 43 mengenai deradikalisasi yang dilakukan secara terencana, terpadu, berkesinambungan dan sistematis dalam mengurangi dan paham radikal terorisme. Sedangkan pasal 43 ayat 3 deradikalisasi memiliki sasaran yaitu tersangka, terdakwa, terpidana, Warga Binaan Pemasyarakatan, mantan Warga Binaan Pemasyarakatan terorisme; atau orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.
Sebagaimana yang dijelaskan Undang-Undang, deradikalisasi dilaksanakan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme didampingi kementerian/ lembaga terkait. Deradikalisasi pada ayat (2) disampaikan secara bertahap melalui empat (4) tahapan yaitu: tahap identifikasi dan penilaian sebagai tahap mengumpulkan data dan identitas. Tahap kedua adalah rehabilitasi, yaitu rahap pemuihan baik secara mindset, psikilogis dan psikis. Tahap ketiga adalah reedukasi yaitu mendidik ulang mengenai pemahaman kebangsaan, toleransi dan agama dan tahap terakhir yaitu reintegrasi sosial. Tahapan ini pun di implementasikan oleh personil khusus Densus 88 Polri.
Resosiaisasi
Resosialisasi merupakan tahapan ke-empat dari program deradikalisasi (Blueprint Deradikalisasi, 2013). Istilah resosialisasi ini penulis merujuk pada peraturan Kepala BNPT No.PER-01/K.BNT/I/2017 tentang Organisasi dan tata Kerja BNPT dan blue print deradikalisasi yang memiliki pemahaman yang sama dengan reintegrasi. Program ini dimaksudnya sebagai keseluruhan upaya mengembalikan napi teroris atau mantan napi dan keluarganya agar dapat hidup dan berinteraksi dengan masyarakat secara baik. Karena itu lingkup kerja program resosialisasi tidak hanya bagi napi atau mantan napi dan keluarganya, tetapi juga masyarakat dimana napi mantan napi itu tinggal.
Deradikalisasi yang merujuk pada cetak biru Deradikalisasi yang diterbitkan tahun 2014, memberikan definisi secara umum bahwa resosialisasi merupakan upaya pembinaan yang integratif dalam menyatukan warga binaan sosial dan keluarganya dengan damai. Sedangkan upaya pembinaan kepribadian dan kemandirian yang integratif untuk mengembalikan warga binaan ke masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan sasaran secara khusus.
Selain itu, ada ketakutan bagi para warga binaan sosial saat kembali ke masyarakat, sehingga pendampingan kepribadian dengan dukungan psikologis dalam membangun rasa percaya diri berbaur dengan masyarakat merupakan upaya memperkuat pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang moderat, damai dan menghargai perbedaan, sedangkan pembinaan kemandirian adalah memberikan pelatihan-pelatihan keahlian sesuai dengan minat dan bakat warga binaan atau keluarga sebagai modal dalam melanjutkan kehidupan yang normal seperti warga lainnya.
Bagi masyarakat umum, resosialisasi adalah upaya memberikan pemahaman sekaligus mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima kembali kehadiran mereka tidak menghasilkan rasa takut serta kecurigaan. Sasaran program ini adalah napier atau warga binaan yang akan habis masa rehabilitasinya dan persiapan kembali ke masyarakat. Sasaran ke dua yaitu keluarga para mantan napiter atau warga binaan sosial yaitu keluarga inti, yaitu suami atau istri dan anak. jika keluarga terdekatnya dipandang terindikasi berpaham radikal atau memberikan dukungan atau aksi radikal terorisme. Sasaran yang ketiga adalah masyarakat; yaitu tempat dimana mantan napi teroris dan keluarganya akan hidup bermasyarakat.
Lima tujuan resosialisasi yang dinyatakan oleh BNPT yang dimuat dalam Blueprint Deradikalisasi adalah mempersiapkan napi/mantan napi atau warga binaan sosial dan keluarganya agar dapat kembali ke masyarakat secara baik melalui pembinaan kepribadian dan kemandirian; memberikan pelatihan keahlian warga binaan dan keluarganya sebagai modal hidup bermasyarakat dengan baik, memperkuat pemahaman agama yg moderat, damai dan menghargai perbedaan bagi napi atau mantan napiter dan keluarganya serta masyarakat dan menghilangkan rasa saling curiga sekaligus menumbuhkan empati dan saling menghormati antara mantan napi teroris dan keluarganya dengan masyarakat.
Dalam Blueprint Deradikalisasi menyebutkan bahwa BNPT sebagai koordinator penanganan terorisme menyatakan indikator keberhasilan bagian program resosialisasi yaitu jika: warga binaan atau napi/mantan dan keluarganya memiliki kesiapan mental dan keahlian untuk kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang baik, warga binaan atau napi atau mantan napi dan keluarganya memiliki keahlian yang diperlukan, khususnya keahlian ekonomi, untuk dapat hidup normal dan baik ditengah-tengah masyarakat, warga binaan atau napi/mantan bersedia meninggalkan pemahaman dan sikap radikal teroris yang merusak tatanan hidup bersama yang damai, toleran, dan menghargai perbedaan, mantan napi dan keluraganya dapat hidup bersama dengan masyarakat secara terbuka, saling menghargai, dan saling menghormati dan khusus bagi mantan napi teroris atau warga binaan yang telah mengikuti program resosialisasi ini, mereka bisa mendapatkan rekomendasi untuk memperoleh remisi sesuai amanat PP 99 tahun 2012
Sedangkan alur kerangka alur program resosialisasi dibedakan antara kegiatan untuk napi/mantan napi teroris dan keluarganya dan kegiatan untuk mantan masyarakat. Kerangka alur untuk napi atau mantan napi atau dimaksud dengan warga binaan sosial yaitu melakukan pendataan ulang napiter/ mantan napi teroris dan keluarganya yang telah mengikuti program reedukasi dan siap melakukan program resosialisasi; melakukan asesmen terhadap mantan napiter, dan keluarganya yg akan mengikuti program resosialisasi. Asesmen ini merupakan tindakan lanjutan dari rekomendasi yang diberikan oleh tim rehabiitasi dan mempertimbngkan hasil yang telah dicapai pada program rehabilitasi sebelumnya.
Alur selanjutnya adalah menyusun modul, metode, dan teknik pelaksanaan dan teknis resosialisasi, baik kepada napiter, mantan napiter dan warga binaan dan keluarganya. Menyiapkan petugas juga penting dalam melaksanakan program resosialisasi yang meliputi tenaga pelatih, tokoh agama, psikolog, fasilitator dan sebagainya; pelaksanaan program resosialisasi, baik berupa pembinaan kepribadian maupun pelatihan keahlian, melakukan evaluasi hasil resosialisasi terhadap setiap peserta. Hasil evaluasi ini sekaligus menjadi rujukan untuk bisa mendapatkan rekomendasi remisi khusus pada napi teroris; dan pemberian rekomendasi memperoleh remisi pada napi teroris yang dianggap memenuhi standar.
Dalam sisi lain, alur program masyarakat yaitu melakukan koordinasi dengan stakeholders yang ada dimasyarakat tempat mantan teroris atau warga binaan dan keluarganya yang ditempatkan dengan asesmen kebutuhan untuk mempersiapkan pelaksanaan resosialisasi; pelaksanaan resosialisasi mantan napiter dan keluarganya yang diawali dengan mempertemukan mantan napiter dan keluarganya dengan masyarakat atau tokoh masyarakat setempat; melakukan pembinaan secara berkelanjutan baik kepada mantan napi teroris dan keluarganya maupun kepada masyarakat; dan evaluasi pelaksaan kegiatan. Resosialisasi merupakan tahapan ke-empat dari program deradikalisasi khususnya bagi napiter atau warga binaan bagi keluarganya. Program ini sebagai keseluruhan upaya mengembalikan napiter atau mantan napiter dan keluarganya agar dapat bermasyarakat secara baik. Ruang lingkup kerja program resosialisasi tidak hanya bagi napiter atau warga binaan dan keluarganya, tetapi juga masyarakat dimana napi mantan warga binaan itu akan tinggal. Bagi napi dan keluarganya resosisalisasi merupakan proses untuk mempersiapkan mereka dan keluarganya dalam hal perubahan dan pemahaman dan sikap radikal teroris agar dapat kembali menjadi warga negara yang baik; sedangkan bagi masyarakat resosialisasi berarti mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima kehadiran para mantan napi teroris dan keluarganya ditengah-tengah mereka.
Hal yang terpenting saat napiter kembali ke masyarakat adalah menghilangkan kecurigaan dan rasa takut pada satu sisi dan membangun empati dan sikap saling menghormati pada sisi yang lain. Secara umum, resosialisasi adalah upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan napiter atau mantan napi dan keluarganya agar dapat hidup bersama dengan masyarakat dengan nilai-nilai dan tatanan hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai, dan damai. Secara khusus, resosialisasi adalah upaya pembinaan kepribadian dan kemandirian yang integratif untuk mengembalikan mereka sebagai warga masyarakat yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pembinaan kepribadian meliputi pembinaan psikologis yaitu untuk membangun rasa percaya diri bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat secara keseluruhan; dan pembinaan keagamaan; yaitu untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang mderat, damai dan menghargai perbedaan, sedangkan pembinaan kemandirian adalah memberikan pelatihan-pelatihan keahlian sesuai dengan minat dan bakap napi atau keluarga mantan napi teroris dan keluarganya yang dapat dipergunakan untuk melanjutkan kehidupan yang normal dan lebih baik. Bagi masyarakat umum, resosialisasi adalah upaya memberikan pemahaman sekaligus mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima kembali kehadiran mantan napi dan mantan teroris dan keluarganya tanpa ada kekhawatiran dan rasa takut serta kecurigaan.
Sasaran resosialisasi menurut BNPT yang dinyatakan dalam Blueprint (2013) Deradikalisasi adalah, napi teroris yaitu napi yang sudah mengikuti program reedukasi dan mendapatkan rekomendasi melanjutkan ke program resosialisasi; atau napi teroris yang akan habis masa tahanannya tetapi belum mendapatkan rekomendasi melanjutkan ke program resosialisasi. Untuk kelompok kedua diberi perlakuan khusus sebelum keluar dari lapas dan kembali ke masyarakat, mantan napi teroris yaitu mantan napi yang sudah habis masa tahanannya dan sudah kembali ke tengah-tengah masyarakat; baik yang sudah mengikuti program rehabilitasi dan re edukasi ataupun yang belum. Untuk yang belum mengikuti program rehabilitasi dan re-edukasi diberikan perlakuan khusus, keluarga napi dan mantan napi teroris, yaitu keluarga inti, yaitu suami atau istri dan anak.
Ada lima tujuan resosialisasi yang dinyatakan oleh BNPT yang dimuat dalam Blueprint Deradikalisasi yaitu mempersiapkan warga binaan dan keluarganya agar dapat kembali ke masyarakat melalui pembinaan kepribadian dan kemandirian, dan juga mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima kembali kehadiran mereka, memberikan pelathan keahlian napi/mantan warga binaan dan keluarganya sebagai modal hidup bermasyarakat dengan baik, memperkuat pemahaman agama yang moderat, damai dan menghargai perbedaan bagi napi atau mantan napi dan keluarganya serta masyarakat dan menghilangkan rasa saling curiga sekaligus menumbuhkan empati dan saling menghormati antara mantan napi teroris dan keluarganya dengan masyarakat.
Sedangkan indikator keberhasilan resosialisasi yang disebutkan dalam Blueprint Deradikalisasi (2014) menyebutkan jika napi/mantan dan keluarganya memiliki kesiapan mental dan keahlian untuk kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang baik, napiter atau warga binaan dan keluarganya memiliki keahlian yang diperlukan, khususnya keahlian ekonomi, agar dapat hidup normal dan baik ditengah-tengah masyarakat, napi/mantan bersedia meninggalkan pemahaman dan sikap radikal teroris yang merusak tatanan hidup bersama yang damai, toleran, dan menghargai perbedaan, mantan pelaku dan keluarganya dapat berbaur dengan masyarakat secara terbuka, saling menghargai, dan saling menghormati, khusus bagi mantan napi teroris yang telah mengikuti program resosialisasi ini, mereka bisa mendapatkan rekomendasi untuk memperoleh remisi sesuai amanat PP 99 tahun 2012.
Kerangka alur program resosialisasi menurut Blueprint Deradikalisasi dapat dibedakan antara kegiatan untuk napi/mantan napi teroris dan keluarganya dan kegiatan untuk mantan masyarakat. Alur program bagi mantan Warga Binaan Pemasyarakatan terorisme dan keluarganya, melakukan pendataan ulang terhadap napiter/ mantan napiter dan keluarganya yang lulus reedukasi dan siap melakukan program resosialisasi, melakukan asessment terhadap mantan napiter, dan keluarganya yang akan mengikuti program resosialisasi. Asessment ini merupakan tindakan lanjutan dari rekomendasi yang diberikan oleh tim rehabilitasi dan mempertimbangkan hasil yang telah dicapai pada program rehabilitasi sebelumnya, menyusun modul, metode, dan teknik pelaksanaan dan teknis resosialisasi, baik kepada napiter, mantan napiter atau warga binaan dan keluarganya, menyiapkan petugas sebagai pelaksana program resosialisasi meliputi tenaga pelatih, tokoh agama, psikolog, fasilitator dan sebagainya, pelaksanaan program resosialisasi, baik berupa pembinaan kepribadian maupun pelatihan keahlian, melakukan evaluasi hasil resosialisasi terhadap setiap peserta. Hasil evaluasi ini sekaligus menjadi rujukan untuk bisa mendapatkan rekomendasi remisi khususnya kepada napiter, pemberian rekomendasi memperoleh remisi pada napi teroris yang dianggap memenuhi standar
Sedangkan alur program masyarakat mengenai resosialisasi yaitu melakukan koordinasi dengan stakeholders yang ada dimasyarakat tempat mantan teroris dan keluarganya yang ditempatkan, asesmen kebutuhan untuk mempersiapkan pelaksanaan resosialisasi, pelaksanaan resosialisasi mantan napi teroris dan ekluarganya yang diawali dengan mempertemukan mantan napi teroris dan keluarganya dengan masyarakat atau tokoh masyarakat setempat, melakukan pembinaan secara berkelanjutan baik kepada mantan napi teroris dan keluarganya maupun kepada masyarakat, dan evaluasi pelaksaan kegiatan
Densus 88 Anti Teror
Teori Implementasi
Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward III memiliki empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan birokrasi (Leo Agustino, 2008)
- Komunikasi
Variabel pertama komunikasi yang menurut Edward III menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu transmisi, clarity (kejelasan), dan konsistensi.
Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
Kejelasan komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level- bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
Terkait komunikasi pada Lembaga Pemerintahan khususnya, Grunig (1992) menyatakan bahwa keefektifan komunikasi penting dalam sistem komunikasi antar Lembaga. Banyak Lembaga Pemerintah yang tidak mengatur program komunikasinya secara strategis maka kebijakannya tidak dapat disampaikan secara efektif maka kebijakannya tidak berjalan secara maksimal.
Konsistensi yaitu perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
Variabel atau faktor kedua adalah sumber daya. Menurut George C. Edward III dalam Leo Agustino (2008) dalam mengimplementasikan kebijakan ada empat indikator sumberdaya yaitu staff, informasi, wewenang dan fasilitas.
Staff merupakan indikator yang pertama. Kurangnya staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya menjadi factor kegagalan dalam implementasi kebijakan. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, sehingga diperlukan pula staff yang memiliki keahlian dan kemampuan yang sesuai dalam mengimplementasikan kebijakan itu sendiri.
Indikator yang kedua adalah informasi. Ada dua bentuk informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Pelaksana implementasi kebijakan memahami apa yang harus dilakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap aturan.
Indikator ketiga adalah wewenang. Dalam institusi pemerintahan, kewenangan harus bersifat resmi sehingga perintah dijalankan dengan baik. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Jika dalam keadaan suatu Lembaga tidak memiliki wewenang, maka kekuatan pelaksana kebijakan terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Sebaliknya, ketika jika Lembaga memiliki wewenang, terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan penting dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan hilang jika wewenang diselewengkan oleh pelaksana dalam memenuhi kepentingannya kelompoknya maupun sendiri.
Indikator yang terakhir adalah fasilitas. Fasilitas merupakan sarana dalam melancarkan fungsi. Jika fasilitas pendukung tidak dipenuhi sesuai dengan kebutuhan maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Ada dua variable yang mempengaruhi Keberhasilan yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation) menurut Grindle (dalam Subarsono, 2011). Variabel tersebut mencakup: seberapa besar kepentingan kepada target group yang terdiri dari isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, dan sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah program yang diberikan sudah tepat, apakah kebijakan memiliki implementornya yang sesuai, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang tercukupi.
Sawito (2014) menekankan mengenai pentingnya segi finansial dalam proses implementasi. Segi finansial ini dapat diimplikasian dengan perhitungan biaya (budget) yang diberikan sesuai isi kebijakan sudah jelas dan konsisten, Namun, bila pelaku kebijakan belum memiliki kapasitas sumber daya, implementasi tidak akan berjalan secara maksimal. Sumberdaya dimaknai sebagai sumber daya manusia, yaitu kompetensi pelaksana implementasi dan sumber daya keuangan. Sumber daya adalah faktor utama dalam implementasi kebijakan agar dapat berjalan secara efektif. Mengenai pentingnya anggaran, Jeff Kins (1992), dalam Umar Farouk (2009), dalam penelitian Analisa sumber daya implementasi program public relation menyebutkan bahwa keterbatasan waktu, uang, dan sumber daya lainnya harus senantiasa disadari keberadaan dan pengaruhnya. Kebijakan penindakan yang dilandasi oleh strategi implementasi merupakan komponen penting bagi pembuat kebijakan dalam memastikan kebijakan berjalan secara efisien, dan efektif. Hal ini dikemukakan oleh Michael (1996) dalam penelitian mengenai implementasi kerjasama pada kebijakan negara federal di Amerika Serikat.
HASIL TEMUAN DAN ANALISA
1. Sumber daya (staff dan financial, informasi, wewenang dan fasilitas)
Pelaksanaan resosialisasi yang dilaksanakan oleh Densus 88 AT dilaksanakan oleh Direktorat Identifikasi dan Sosilaisasi dimana pelaksanaan resosialisasi dilaksanakan oleh Subdit Sosialisasi pada Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi. Personil pelaksana resosilisasi yang dimiliki oleh Detasemen khusus 88 AT polri terdiri dari personil di pusat mabes Polri dan Satuan Tugas Kewilayahan yang menjangkau seluruh provinsi di nusantara merupakan perpanjangan dari pusat mabes Polri.
Pada saat pembebasan tim dit Idensos menjemput mantan narapidana teroris di lapas, setelah proses administrasi selesai di lapas dan dinyatakan bebas kemudian tim dit Idensos pusat mengantarkan mantan napiter ke alamat kepulangan, apabila alamat kepulangan dari lapas (Jabodetabek) maka tim langsung mengantar hingga Kembali kepada keluarganya dengan menggunakan kendaran roda empat. Apabila alamat kepulangan mantan napiter antar pulau maka tim melaksanakan pendampingan secara estafet menggunakan akomodasi pesawat maupun kenderaan roda empat dengan tim Idensos di kewilayahan hingga mantan napiter tersebut Kembali bertemu keluarganya.
Dalam hal pembebasan narapidana teroris yang berada dilapas-lapas seluruh Indonesia tim Idensos berkordinasi dengan pihak ditjenpas terkait dengan informasi bagi narapidana yang akan bebas, pemberian informasi dari pihak Dit jenpas dilaksanakan satu bulan sebelum narapidana bebas, Sehingga Dit Idensos membuat perencanaan pendampingan pembebasan selama satu bulan kedepan tentunya berkordinasi dengan pihak pemda (Dinas Sosial, Kementrian Agama, Kecamatan, Kelurahan, Polres, Polsek, Kodim, Koramil ) alamat kepulangan mantan narapidana teroris, guna menginformasikan kepulangan kepada masyarakat untuk dapat menerima Kembali mantan napiter hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hal ini Detasemen Khusus 88 AT Polri selalu berkordinasi dengan Pihak Ditjenpas (waktu pembebasan), Pemda, Kecamatan, Kelurahan, Polres, polsek, koramil, guna persiapan kembalinya mantan narapidana teroris ke masyarakat guna memberikan informasi kepada masyarakat bahwa aka ada warga baru mantan narapidana teroris, agar masyarakat dapat menerima Kembali ke masyarakat.
Pelaksanaan resosialisasi oleh Detasemen Khusus 88 AT polri dalam hal ini yang dilaksanakan oleh direktorat Identifikasi dan Sosialisasi dilaksanakan berkelanjutan di seluruh Lembaga Pemasyarakatan yang ada narapidana terorisnya tanpa terkecuali baik itu narapidana teroris yang sudah pulih pemikiran radikal terorisnya maupun yang belum pulih, tim Idensos Densus 88 Polri tetap melaksanakan pendampingan pembebasan hingga mantan narapidana teroris tersebut kembali kepada keluarganya dan masyarakat.
Konsistensi pelaksanaan pendampingan pembebasan narapidana teroris oleh Densus 88 AT membuat kegiatan resosialisasi secara massive mulai dari tingkat pusat hingga kewilayahan, dilaksanakan oleh Dit Idensos tingkat pusat hingga Dit Idensos tingkat kewilayahan seluruh Indonesia, sehingga setiap adanya jadwal pembebasan mantan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan seluruh Indonesia maka tim idensos akan melaksanakan pendampingan pembebasan.
KESIMPULAN.
Dalam kegiatan Resosialisasi yang dilaksanakan oleh Detasemen khusus 88 merupakan rangkaian kegiatan dari tahap identifikasi rehabilitasi edukasi dan reintegrasi social. Detasemen khusus 88 dalam melaksanakan kegiatan reintegrasi sosial dengan metode pembinaan berkelanjutan, tentunya pelaksanaan reintegrasi sosial dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak dimulai dari pihak kepolisian setempat, Dinas Sosial, penyuluh kua, tokoh masyarakat, tokoh agama, pihak Kecamatan, pihak kelurahan, pihak Desa, RT RW setempat, masyarakat sekitar domisili dari mantan pelaku atau X teroris yang akan kembali bergabung bersama masyarakat titik Mengapa dibutuhkan koordinasi dan kerjasama dalam proses reintegrasi sosial ini dikarenakan mantan pelaku teror Ini Membutuhkan pendampingan serta pembinaan terutama pada saat mereka kembali ke masyarakat sehingga dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak instansi terkait Sehingga dalam proses pembinaan berkelanjutan dapat berjalan dengan lancar tentunya ini merupakan tanggung jawab kita bisa kita semua tidak hanya dibebankan kepada Detasemen Khusus 88 saja sehingga proses pembinaan dapat berjalan dengan lancar dan berkesinambungan, apabila proses pembinaan an-nur jalan dengan baik dari seluruh instansi terkait mulai dari tingkat atas sampai dengan tingkat yang paling bawah yaitu RT RW setempat maka kemungkinan mantan pelaku teror ini untuk mengulangi perbuatannya kembali akan sangat kecil sekali tentunya dengan bimbingan dan pembinaan dari seluruh instansi terkait yang dibutuhkan dalam proses pembinaan ini ialah kepedulian dan kemauan dari masing-masing instansi sehingga pelaksanaan pembinaan ini dapat berjalan dengan lancar tentunya apabila setelah mantan pelaku teror ini bebas dari lapas dan kita biarkan begitu saja maka kemungkinan untuk mengulangi perbuatannya kembali akan sangat besar dan sangat rentan sekali sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik antar instansi dan masing-masing instansi memahami bahwasanya pelaksanaan pembinaan terhadap X napiter atau mantan pelaku teror ini merupakan tanggung jawab kita bersama.
REFERENSI
Undang-Undang/Peraturan
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas undang – undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang – undang nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi UU.
Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2019 tentang pencegahan dan Deradikalisasi tindak pidana terorisme.
Blueprint Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Buku dan Jurnal
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
FAROUK, U. (2009). Analisa Sumber Daya dalam Implementasi Program Public Relations di Politeknik Negeri Semarang (Doctoral dissertation, (UNIVERSITAS DIPONEGORO).
Horgan, J., & Braddock, K. (2010). Rehabilitating the terrorists?: Challenges in assessing the effectiveness of de-radicalization programs. Terrorism and political violence, 22(2), 267-291.
Hikam, M. A., & Riyanta, S. (2018). THE DEVELOPMENT OF RADICAL GROUPS IN INDONESIA AFTER GOVERNMENT REGULATIONS IN LIEU OF LAW NO 2/2017 CONCERNING COMMUNITY ORGANIZATION AND LAW NO 5/2018 CONCERNING TERRORISM IN NATIONAL SECURITY PERSPECTIVE. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 8(3), 47-68.
Ismail, N. H., & Sim, S. (2016). From prison to carnage in Jakarta: predicting terrorist recidivism in Indonesia’s prisons. Brookings Institute. Retrieved May, 1, 2018.
Michael, Douglas C. (1996). Cooperative Implementation of Federal Regulations. Yale Journal on Regulation, 13(535)
Sawito, I. (2014). Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyrakat Mandiri Pedesaan (Pnpm Mp) Di Desa Tabing Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten KampaR (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).
Subarsono, A. G. (2011). Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yin, R. K. (2002). Studi kasus : Desain dan metode. Terj. dari Case Study Research Design and
Methods (Mudzakir, Djauzi, M., Penerjemah). Jakarta : PT. Raja Grafindo
Recommended Citation
Nova, Andi and Syauqillah, Muhamad
(2021)
"IMPLEMENTASI RESOSIALISASI OLEH DENSUS 88 ANTI TEROR,"
Journal of Terrorism Studies: Vol. 3:
No.
1, Article 7.
DOI: 10.7454/jts.v3i1.1034
Available at:
https://scholarhub.ui.ac.id/jts/vol3/iss1/7