Abstract
This article explores the adaptation of Asma Nadia’s Assalamualaikum Beijing from novel to film to comic book as the reproduction of symbolic cultural goods. According to Bourdieu’s concept of habitus, people are conditioned to perform repetitive acts devoid of any preceeding consideration or deliberation, while symbolic power represents the tacit modes of social/cultural domination ingrained and preserved through everyday social practices. Taking a sociology of literature approach, this study discovers that the habitus of the Indonesian canon literary tradition has hindered contemporary literary works from achieving the same level of legitimacy through the boundary work performed by literary awards. Contemporary pop authors, who rarely win these awards, have set up a new standard through which they can gain influential status over the Indonesian field of cultural production through the repeated “repackaging” of their literary works. In addition, the study finds that Asma Nadia’s use of Beijing as the setting for her work is represents her desire to introduce the existence of Islam in China, while implicitly hinting at “a solution” to the problematic existence of Chinese Indonesians who can only be “fixed” through religious conversion.
Bahasa Abstract
Artikel ini berupaya untuk menguraikan praktik adaptasi ulang dari komik Assalamualaikum Beijing (2015), dari novel menjadi film dan dari film menjadi komik, oleh karena hal tersebut dipandang sebagai praktik reproduksi kultural. Konsep habitus Bourdieu dapat didefinisikan bahwa masyarakat dikondisikan untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang tanpa memikirkan maknanya terlebih dahulu, sementara kuasa simbolis merepresentasikan model-model dominasi sosial/kultural yang tak tampak namun terpelihara dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Melalui pendekatan sosiologi sastra terhadap objek, studi ini menemukan bahwa habitus dari sastra Indonesia kanon telah menghambat karya-karya kontemporer untuk meraih status legitimasi yang setara lewat penetapan kriteria sejumlah penghargaan sastra. Oleh karena para penulis sastra kontemporer jarang meraih penghargaan-penghargaan tersebut, maka mereka akhirnya menetapkan standar sendiri dalam arena produksi kultural Indonesia, yakni dengan berulang kali mengadaptasi ‘kemasan’ dari karya-karya mereka. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa Asma Nadia sengaja menggunakan Beijing sebagai latar tempat dari karyanya karena ia hendak memperkenalkan keberadaan Islam di negeri Tiongkok, sekaligus mengisyaratkan ‘sebuah solusi’ implisit bahwa keberadaan etnis Tionghoa yang problematik di Indonesia hanya dapat ‘diperbaiki’ lewat perpindahan kepercayaan (agama).
Recommended Citation
Adji, A. N. (2019). Assalamualaikum Bejing Repackaged: Habitus, Symbolic Power and Indonesian Cultural Production. Makara Human Behavior Studies in Asia, 23(2), 161-171. https://doi.org/10.7454/hubs.asia.1260619