Abstract
The aim of this researh is to expose the phenomenon in Banten Residency after the Dutch occupied the region. There are four steps used in this research, i.e. collecting historical sources (heuristic), critique, interpretation and historiography (writing the history). This research result that the two sides of the civil government did not work well. Not long after Banten was occupied by the Dutch, several prominent Bantenese figures, especially those who were proDutch discussed the future status of the region. The Information Department of Banten Residency who was pro-Dutch offered several alternatives for the people of Banten to choose. The alternatives were: (1) Banten became the 13th province of the Dutch Kingdom; (2) Banten joined the United States of Indonesia as a state or got a special status; (3) Banten indirectly joined the United States of Indonesia. First this region joined the state of Pasundan or the Federal District of Jakarta. If Banten joined the state of Pasundan, there are two options, firstly this district as a residency or secondly, as a state or an exclusive territory. Those alternatives were presented to the People Representative Board of Banten for the people to choose and to appoint a delegation who would present their choice to the Round Table Conference in the Hague (Den Haag). But the body did not follow the aspiration of the representative board. This body just had to wait for the conference decision. Based on the conference decision, Banten remained as a part of the Republic of Indonesia which was a state in the United States of Indonesia.
Bahasa Abstract
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan fenomena di Keresidenan Banten setelah daerah itu diduduki oleh Belanda. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu mencari sumber sejarah (heuristik), kritik, interpretasi, dan penulisan sejarah (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan di kedua pemerintahan sipil yang saling bermusuhan itu berjalan tidak sempurna. Tidak lama setelah Banten diduduki oleh Belanda, beberapa tokoh Banten khususnya yang pro-Belanda membicarakan status daerah itu di masa datang. Dinas Penerangan Keresidenan Banten pro-Belanda menyediakan beberapa alternatif agar dipilih rakyat Banten. Alternatif yang dikemukakan adalah: (1) Banten sebagai Propinsi ke-13 dari Kerajaan Belanda, (2) Banten masuk Negara Indonesia Serikat secara langsung sebagai negara atau daerah istimewa, atau (3) Banten masuk NIS secara tidak langsung dengan terlebih dahulu bergabung dengan negara Pasundan atau Distrik Federal Jakarta. Jika bergabung dengan negara Pasundan, ada dua cara, yaitu daerah itu sebagai keresidenan, atau sebagai negara, atau sebagai daerah istimewa. Beberapa alternatif tersebut disampaikan kepada Badan Perwakilan Rakyat Banten untuk dipilih dan menetapkan suatu delegasi yang tugasnya menyampaikan pilihan mereka ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Ternyata badan tersebut tidak mengikuti keinginan Dinas Penerangan, tetapi menunggu hasil konferensi. Putusannya, Banten tetap masuk wilayah RI sebagai salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.
References
Ambary, H.M., Michrob, H., Darussalam, Sasmita, U. T. (1985). Hari jadi kabupaten Serang dan sejarah Banten dari masa ke masa. Serang. Naskah tidak diterbitkan. Banten bukan keketjualian. (1949, Th. II, Januari 22). Merdeka, hlm. 7. Banten diantara daerah istimewa dengan negara Pasundan. (1949, Februari 24). Warta Indonesia. Banten digabungkan dengan Pasundan. (1949, Mei 3). Sin Po. Banten diminta masuk Pasundan. (1949, Januari 4). Sin Po. Daerah otonom Banten. (1949, Januari 19). Merdeka. Dinas Penerangan Keresidenan Banten (TBA). (1949). ”Status Banten: kemungkinan-kemungkinan apa jang akan dapat kita ambil?”, Siaran kilat tanggal 10 Juni 1949. Djohani, M. (1992). Riwayat hidup dan perjuangan. Mandalawangi. Naskah tidak diterbitkan. Dualisme dalam pemerintahan sipil di Banten. De fakto ada di tangan republik. (1949, Oktober 11). Merdeka. Ensering, E. (1995). Banten in times of revolution, Archipel 50. Paris, 131-163. ”Intel Priangan, Djawa Barat, Tahun 1946-1949”, Koleksi Subdisjarah Disbintal AD, Bandung. Keadaan pemerintahan di Banten. (1949, Januari 20). Merdeka. Kementerian Pererangan RI. (1953). Republik Indonesia: propinsi Djawa Barat. Djakarta. Kemerdekaan harus berisi kemakmuran. Kiai Achmad Chatib dan stafnja melarikan diri. (1949, Januari 6). Sin Po. Madjiah, M. (tanpa angka tahun). Konsekuen hingga akhir: kisah seorang prajurit TNI. Jakarta. Naskah tidak diterbitkan. Menindjau Banten Selatan. keamanan dan ketenteraman mulai kembali lagi. (1949, Maret 21), Warta Indonesia. Nasution, A.H. (1979). Sekitar perang kemerdekaan Indonesia: agresi militer Belanda II. Jilid X, Bandung: Penerbit Angkasa. Notosoetardjo. (1956). Dokumen-dokumen Konperensi Medja Bundar. Djakarta: Endang. N.s. (1955). Perkembangan di daerah Pandeglang sedjak proklamasi hingga sekarang. Naskah tidak diterbitkan. Pasundan. (1949, Agustus 10). Sin Po. Pasundan tidak mau kuasai Banten. (1949, Maret 3). Sin Po. Pembangunan kota Rangkasbitung pesat. (1949, Mei 4). Warta Indonesia. Pembangunan setjara gugur gunung. (1949, Oktober 4). Antara. Pembersihan terhadap Banten kemarin dimulai. (1948, Desember 24). Warta Indonesia. Perundingan bersama untuk menentukan ketatanegaraan Banten. (1949, Juli 4), Warta Indonesia. Rakjat Banten bekerdja suka rela. (1949, April 6). Warta Indonesia. Roesjan, Tbg. (1954). Sedjarah Banten. Djakarta: Arief. Sjam’un, K.H.R. (1976). Sejarah Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) daerah Banten. Serang. Naskah tidak diterbitkan. Soendji, T. (1983). Mengenang perdjuangan rakjat Pandeglang, 1945-1950. Bandung. Naskah tidak diterbitkan. Supangkat, T. (1997). Riwayat hidup singkat dan pengalaman pelaku sejarah pada masa perang kemerdekaan, 1945-1949. Jakarta. Naskah tidak diterbitkan. Umar, A. (1976). Perjuangan rakyat Banten pada jaman Jepang dan Belanda. Serang. Naskah tidak diterbitkan. Verslag tentang djalannja politiek sedjak 19 Desember 1948 hingga kini. Serang 1 Desember 1949. Naskah tidak diterbitkan. Wal, S.L., diteruskan P.J. Drooglever en M.J.B. Schouten (ed.). (1991). Officiele bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen, 1945-1949. Jilid XVI. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Warta-warta dari Banten. (1949, Maret 9). Warta Indonesia. Wawancara dengan Drs. H. Eddy Suwarna Mayor (Purn., 68 tahun) di Warunggunung, Lebak, 5 Oktober 1997 dan di Depok, 12 Agustus 2000. Wawancara dengan Mirsad, Kapten (Purn. 70 tahun), di Rangkasbitung, 20 November 1997. Wawancara dengan H. Muhammad Dadang Ismail (Purn, 78 tahun), di Rangkasbitung, 20 November 1997. Williams, M.C. Banten: utang padi dibayar padi, utang darah dibayar darah, dalam Audrey Kahin (ed). (tej.). (1990). Pergolakan daerah pada awal kemerdekaan. (hlm. 60-87). Jakarta: Grafiti.
Recommended Citation
Suharto, S. (2009). Banten Pasca Agresi Militer Belanda Kedua. Makara Human Behavior Studies in Asia, 13(2), 85-90. https://doi.org/10.7454/mssh.v13i2.231