•  
  •  
 

Abstract

The choice of institutional development for Jakarta as Indonesian capital city can be the barometer of equity and fairness as value to whole developing nation, especially for urban development in Indonesia. If megalopolis concept proposed by Sutiyoso received without reverse, then we have disease to the equity and fairness values as a nation state. Megalopolis is a city characterized by: (1) huge population and density; (2) national and international networking scale; (3) huge integrated spatial. The problematic situation of urban development in Jakarta is urgent, but it is un-fair and unequal if development of other cities in Indonesia is abandoned. The choice to develop megalopolis is still unclear.

Bahasa Abstract

Pilihan pengembangan kelembagaan Ibukota Republik Indonesia dapat menjadi tolak ukur rasa keadilan bangsa Indonesia dalam membenahi carut marut pembangunan perkotaan secara menyeluruh di Indonesia. Jika konsep megapolitan begitu saja di-gol-kan oleh wakil rakyat, maka bangsa Indonesia tengah mengidap penyakit rendahnya rasa keadilan. Megapolitan adalah kota dengan ciri-ciri: (1) jumlah penduduk yang sangat besar; (2) jaringan yang tercipta menggambarkan keterkaitan bukan saja berskala nasional tapi juga internasional; (3) dari sudut ruang, menggambarkan adanya keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan. Kebutuhan mendesak penanganan masalah perkotaan di DKI Jakarta memang terasa tinggi, tetapi tidak boleh menyurutkan rasa keadilan kita sebagai bangsa. Pilihan ke arah sana terbentur oleh kelembagaan kota secara nasional yang tidak jelas.

References

Daldjoeni, N. (1992). Seluk-beluk masyarakat kota. Bandung: Alumni. Departemen Dalam Negeri-Republik Indonesia. (2003). Manual Otonomi Daerah. Jakarta. Hoessein, B. (1999). Optimalisasi pengelolaan perkotaan di era otonomi daerah. Makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia tanggal 8 Oktober 2003, Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok. -------------------- (2002). Otonomi di Jakarta: tinjauan kemungkinan penyempurnaan UU No. 34 Tahun 1999. Jurnal Swatantra. Kurniawan, T. (2006). Kepemerintahan kawasan metropolitan: sumbangan pemikiran untuk revisi UU No. 34 Tahun 1999. Jurnal Industri dan Perkotaan. Vol. X, No 18. Niessen, N. (1999). Municipal Government in Indonesia. Leiden: CNSW. Pinch, S. (1985). City Services: Geography of Collective Consumption. London: Sage Publication. Prud’Homme, R. (1995). Management of megacities: the institutional dimensions. Dalam TR. Clarke, Giles & J. Stubbs (editor). Megacity management in The Asian and Pacific Region. ADB. Republik Indonesia. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. ----------------------. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. ----------------------. Undang-undang No. 10 Tahun 1964 Tentang Kota Raya Jakarta. ----------------------. Undang-undang No. 18 Tahun 1963 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. ----------------------. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ----------------------. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. ----------------------. Undang-undang No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan DKI Jakarta. Soejamto. (1993). Cakrawala Otonomi Daerah. Jakarta. Sinar Grafika. Yunus, H.S. (2006). Megapolitan: konsep

Share

COinS
 
 

To view the content in your browser, please download Adobe Reader or, alternately,
you may Download the file to your hard drive.

NOTE: The latest versions of Adobe Reader do not support viewing PDF files within Firefox on Mac OS and if you are using a modern (Intel) Mac, there is no official plugin for viewing PDF files within the browser window.