Abstract
The article indicate the interpenetration between Amaterasu Oomikami and environment within the Japanese thought. The protection of environment as a product of interpretation of Japanese culture in reciprocal relation is categorized by: the normative – the real; the sacred – the profane; supranatural world – human world. The system classification is the product of knowledge from the Japanese way in seeing the world based on the classification of the inside (uchi) – the outside (soto/yoso). This classification and its attributes produce differentiation between the inside – the outside. The environment destruction is considered as disgrafuk and dirty action. Any violation should be given sanctions. The Japanese watch over their environment by following the pattern of jinja and tera maintainance.. The purity of human behaviour is to protect the environment whilst dirty actions should be avoided. The Japanese view the environment in relevant to the religious belief as primordial as Amaterasu Oomikami the great ancestor of Japanese tenno. The belief in the sacred enfolds the life of the Japanese to nurture collective consciousness in every individual and groups in local, prefecture and nation-state hierarchically. Collective consciousness or solidarity in individuals is socialized by and within institutions in order to produce confirmity among individuals and with the environment. Interpretive method with symbolic approach produce the understanding of Amaterasu Oomikami and the environment as a system of relations in Japanese interpenetrated in the culture through a set of values and actions.
Bahasa Abstract
Tulisan ini menunjukkan interpenetrasi antara Amaterasu Oomikami dan lingkungan dalam pemikiran orang Jepang. Perlindungan terhadap lingkungan sebagai produk interpretasi dengan kebudayaan Jepang dalam hubungan timbal balik adalah berdasarkan klasifikasi: yang normatif – yang nyata; yang sakral – yang profan; dunia gaib - dunia nyata. Sistem penggolongan merupakan produk dari pengetahuan orang Jepang memandang lingkungannya: golongan yang dalam (uchi) – yang luar (soto/yoso). Penggolongan ini dan atributnya menjadi ciri pembeda antara yang dalam dengan yang luar. Perusakan lingkungan merupakan perbuatan yang memalukan dan perbuatan yang kotor. Pelanggaran terhadapnya dikenai sangsi. Orang Jepang menjaga lingkungannya sebagaimana pola tindakan mereka menjaga kuil Shinto (jinja) dan kuil budha (tera). Tindakan manusia yang murni adalah menjaga lingkungan sedangkan tindakan yang kotor adalah yang patut dihindari. Pandangan orang Jepang terhadap lingkungannya terkait dengan keyakinan keagamaan yang primordial yaitu Amaterasu Oomikami sebagai leluhur dari leluhur kaisar Jepang. Keyakinan terhadap yang sakral sebagai yang menyelimuti kehidupan masyarakat Jepang menanamkan kesadaran kolektif setiap individu dan kelompok dalam jenjang lokal, daerah, dan negara. Kesadaran kolektif atau solidaritas dalam diri orang per orang disosialisasikan melalui dan dalam institusi sehingga menghasilkan konfirmitas antara orang per orang dan orang dengan lingkungannya. Metode interpretif menggunakan pendekatan simbolik menghasilkan pemahaman bahwa Amaterasu Oomikami dan lingkungan merupakan satu sistem hubungan dalam kebudayaan Jepang dimana satu sama lain saling terkait melalui seperangkat nilai dan tindakan.
References
Bohannan, P. & Mark, G. (2000). In High Points in Anthropology. Dalam Julian Steward, The concept and the method of cultural ecology. New York: Knopf, hal.11 -29. De Barry, W.T. (1970). Sources of Japanese tradition. New York: Columbia. Devung, G.S. (1999). Indigenous knowledge and wisdom in the use of forests as a source of commercial forest products. Tempayan Quarterly Newsletter of the WWF - Kayan Mentarang Project, East Kalimantan, April-June edition, p. 4-6. (in Indonesian) Douglas, M. (1976). Purity and danger. Maryland: Penguin. Durkheim, E. (1978). Emile Durkheim On Institutional Analysis. Chicago and London: University of Chicago Press. Geertz, C.W. (1992). Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Kudo, I. (2000). Kami gami to ikiru michi. Tokyo: Tokyoshinbushuppankyoku. Laban, Banjar Yulianto(2000). Draft Management Plan-Lore Lindu National Park. LLNP Management Plan Vol. 1. Lawanda, I.I. (2004). Matsuri: Upacara sosial masyarakat Jepang (Matsuri: social rites of the Japanese). Jakarta: Widya Weratama -----------------------. (2003). Jinja sebagai pusat Shaen (Jinja as the center of Shaen), Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Wacana, vol.2, 2003. ------------------------. (2000). Makna gunung Fuji (The meaning of mount Fuji), Bulletin Kajian Wilayah Jepang. Nababan, A. (1995). Kearifan tradisional dan pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Analisis, 26, 6. Nihongi: Chronicles of Japan from the Earliest Times to AD 697. (1956). Tr.W.G.Aston. London: Allen & Unwin. Ohnuki-Tierney, E. (1996). Rice as selves. New Jersey: Princeton University. Pickering, W.S.F (1984). Durkheim’s sociology and themes and theories. Routledge and Kegan Paul Sato, H. (2000). Amaterasunohenkon: Chusei shinbutsukohoshino shiza. Kyoto: Homukan Souyou (ed). (2001). Shinto o Shiruhon chinju nomorinokamigamihenoshinkonosho (Buku mengenal Shinto: Uraian keyakinan terhadap dewa-dewa hutan pelindung). Tokyo: Oufu Ueta, K. (2007). Ondouka boshi wa keizai no shitsuto kyokasuru, Ekonomisuto, May 25, 2007, hal 34 -35. Ueyama, S. (1995). Shinpojuen Ise Jingu. Kyoto: Jinbunshoin. www.mitsubishi.co.jp/index. Diunduh 30 Mei 2008. www.mitsui.co.jp/index. Diunduh 30 Mei 2008. http://news.mongabay.com/2009/0323redd_indonesia.ht ml.
Recommended Citation
Lawanda, I. I. (2008). The Interpenetration between Amaterasu Oomikami and the Japanese Environment. Makara Human Behavior Studies in Asia, 12(2), 56-64. https://doi.org/10.7454/mssh.v12i2.148