Abstract
Freedom of the press and freedom of expression are formally guaranteed on the Constitution of Japan, therefore to be expected that the press and people in general have their independency vis a vis the state. The Japanese media people feel that those freedoms have been practiced, and the particular article of the constitution has been regarded as a norm by the media. But some opinions have also emerged that freedom of the press in Japan is in fact controlled in some ways by those in power. This notion is perhaps related to the practice of “self-censorship” that has been commonly thought of the Japanese media. This practice is seen in this work as closely linked to Japan’s traditional cultural philosophy. The Japan media make it as an “obligation” for themselves to voluntarily regard things related to the imperial family as something very sensitive to be touched upon. There are limitations that cannot be breached. Violations will mean that they will be sanctioned by other fellow members of the’ kisha kurabbu’ or socially punished by the public. Sometimes self-censorship is implemented by the media out of their fear of right wingers or the ruling party.
Bahasa Abstract
Kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat secara formal dijamin dalam Konstitusi Jepang, sehingga diharapkan bahwa pers dan masyarakat secara umum memiliki kebebasan dalam hubungannya dengan pemerintah. Praktisi media Jepang merasa bahwa kebebasan itu dalam kenyataannya telah dipraktekkan, dan pasal khusus yang menyangkut masalah kebebasan pers dalam konstitusi dipandang sebagai norma yang harus diikuti oleh pers Jepang. Namun muncul pendapat-pendapat bahwa kebebasan pers di Jepang sesungguhnya sampai batas tertentu telah mendapatkan pengontrolan oleh penguasa. Anggapan ini berhubungan dengan praktek “sensor-diri” yang biasanya dikaitkan dengan pihak media Jepang. Praktek tersebut dalam kajian ini dilihat erat kaitannya dengan falsafah budaya tradisional Jepang. Kalangan media Jepang menganggap sebagai suatu kewajiban bagi mereka untuk secara sukarela memandang semua hal yang berhubungan dengan keluarga kerajaan Jepang merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak boleh disinggung. Terdapat beberapa pembatasan yang tidak dapat atau tidak patut untuk dilanggar. Pelanggaran terhadap larangan atau pembatasan tersebut akan menyebabkan mereka dikenakan sanksi penyingkiran oleh rekanrekan anggota “klub kisha” atau sanksi sosial oleh publik. Kadang-kadang sensor-diri dilakukan oleh kalangan media lebih karena kekhawatirannya terhadap pihak sayap kanan atau partai yang berkuasa.
Recommended Citation
Sunarwinadi, I. S. (2006). Budaya Sensor-Diri dalam Kebebasan Pers di Jepang. Makara Human Behavior Studies in Asia, 10(1), 15-26. https://doi.org/10.7454/mssh.v10i1.12