Abstract

Anemia gizi besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi pada anak 5 - 12 tahun sebesar 29% di Indonesia dan di Kota Makassar sebesar 37,6%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan (status kecacingan, status seng, kebiasaan sarapan pagi, pola konsumsi makanan sumber heme dan nonheme, pola konsumsi sumber makanan pelancar dan penghambat zat besi) terhadap kejadian anemia. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang yang dilaksanakan pada bulan April – Juni 2014. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilaksanakan pada siswa kelas 3 - 5 SD Negeri Cambaya Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar. Sampel sebanyak 120 siswa yang dipilih secara acak sederhana. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji kai kuadrat dan multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan faktor determinan kejadian anemia adalah status kecacingan (nilai p = 0,007), kebiasaan sarapan pagi (nilai p = 0,002), pola konsumsi makanan sumber heme (nilai p = 0,004), dan pola konsumsi sumber makanan penghambat zat besi (nilai p = 0,016). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pola konsumsi makanan sumber heme (OR = 5,09 dan 95% CI = 1,98 – 13,08) dan pola konsumsi sumber makanan penghambat zat besi (OR = 4,53 dan 95% CI = 1,65 – 12,43) adalah determinan utama kejadian anemia gizi. Iron deficiacy anemia has been a public health problem with prevalence on 5 - 12 year old children worth 29% in Indonesia and 37.6% in Makassar. This study aimed to determine the determinant factors (worm status, zinc status, breakfast habit, consumption pattern of heme and nonheme source of food, consumption pattern of iron enhancer and inhibitor food) toward anemia incidence. The study used cross sectional design conducted in April - June 2014. The population was third to fifth grade students of Cambaya State Elementary School at Ujung Tanah District , Makassar City. Sample of 120 students were selected randomly. Data was analyzed using univariate, bivariate with chi-square test, and multivariate with logistic regression test. The results showed that the determinant factors of anemia incidence were wormy status (p value = 0.007), breakfast habits (p value = 0.002), consumption pattern of heme and non-heme source of food (p value = 0.004), and consumption pattern of iron enhancer and inhibitor (p value = 0.016). Multivariate analysis result showed that consumption pattern of heme (OR = 5.09 and 95% CI = 1.98 - 13.08) and consumption pattern of iron enhancer and inhibitor food (OR = 4.53 and 95% CI = 1. 65 - 12.43) was a major determinant of nutritional anemia.

References

1. WHO. Worldwide prevalence of anemia 1993 – 2005, WHO global database on anaemia. Geneva: WHO library cataloguing-in-publication data; 2008

2. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.

3. Khomsan. Ekologi masalah gizi, pangan dan kemiskinan. Bandung: Alfabeta; 2012.

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

5. Nirmala D. Gizi anak sekolah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; 2012.

6. Cakrawati D, Mustika NH. Bahan pangan gizi dan kesehatan. Bandung: Alfabeta: 2012.

7. Proverawati A, Misaroh. Manarche (menstruasi pertama penuh makna). Yogyakarta: Muha Medika; 2009.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman gizi seimbang. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA; 2014.

9. Kisworini PMS, Triasih S. Anemia defisiensi besi: clinical pratice guidelling anemia defisiensi besi. Medika-Fakultas Kedokteran UGM, 2005; 39-81. 10. World Health Organization. Iron deficiency anaemia: assessment, prevention, and control: a guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.

11. Ibrahim, Anwar I. Ascariasis dan trichuriasis sebagai faktor penentu kejadian anemia gizi besi anak SD di permukiman kumuh Kota Makassar. Media Gizi Pangan. 2012; 8 (1): 48-54.

12. Kharis F, Marlinae L, Al Audhah N. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang. 2013; 4 (3): 121-7. 1

3. Favour O. A significant association between intestinal helminth infection and anaemia burden in children in rural communities of Edo state, Nigeria. North American Journal of Medical Sciences. 2011; 3 (1):30-4

14. Pergizi Pangan Indonesia. Prosiding peran pangan dan gizi dalam menyongsong era globalisasi. Jakarta: Pergizi Pangan Indonesia; 2010.

15. Tandirerung RU, Mayulu N, Kawengian SES. Hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan kejadian anemia pada murid SD Negeri 3 Manado. Jurnal e-Biomedik (eBM). 2013; 1: 53-8.

16. Murphy JM. Breakfast and learning: an updated review. Current Nutrition & Food Science. 2007; 3 (1): 3-36.

17. Latifah MAO. Impact of breakfast eating pattern on nutritional status, glucose level, iron status in blood and test grades among upper primary school girls in Riyadh City, Saudi Arabia. Pakistan Journal of Nutrition. 2010; 9 (2): 106-11.

18. Pearson N, Stuart B, Trish G. Family correlates of breakfast consumption among children and adolescents. Appetite. 2009; 52: 1-7.

19. Abalkhail B, Shawky S. Prevalence of daily breakfast intake, iron deficiency anaemia and awareness of being anaemic among Saudi school students. International Journal Food Science Nutrition. 2002; 53 (6): 519-28.

20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mengapa sarapan pagi itu penting? Jejaring informasi pangan dan gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.

21. Briawan D, Adrianto Y, Ernawati D. Konsumsi pangan, bioavailibilitas zat besi dan status anemia siswi di Kabupaten Bogor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian. Bogor: IPB; 2012

22. Vitolo MR, Bortolini, GA. Iron bioavailability as a protective factor againts anemia among children aged 12 to 16 months. Jornal de Pediatria (RioJ). 2007; 83 (1): 33-8.

Share

COinS