Abstract

Tingkat kepadatan jentik merupakan indikasi diketahuinya kepadatan nyamuk Aedes sp yang akan menularkan virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan juga sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik tempat penampungan air (TPA) dan perbedaan kepadatan jentik House Index, Container Index, Breatau Index (HI, CI, BI) di Kelurahan Alak sebagai daerah endemis dan Kelurahan Belo sebagai daerah bebas DBD di Kota Kupang Tahun 2011. Penelitian observasional analitik ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Variabel penelitian adalah jenis, kondisi, letak, bahan TPA dan kepadatan jentik Aedes sp. Data dikumpulkan dengan observasi langsung pada TPA dan rumah terpilih. Data disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis dengan uji-t. Penelitian ini menemukan TPA positif jentik paling banyak adalah TPA untuk kebutuhan sehari-hari, kondisi TPA tidak tertutup rapat, letak TPA di luar rumah, bahan TPA adalah bahan keramik, dan warna TPA adalah warna putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai dari HI 0,887, CI 0,146 dan BI 0,080, yang artinya tidak ada perbedaan kepadatan jentik antara Kelurahan Alak (daerah endemis) dengan Kelurahan Belo (daerah bebas). Disimpulkan tidak ada perbedaan kepadatan jentik (HI, CI, dan BI) antara daerah endemis dan daerah bebas DBD. Kedua daerah sama-sama memiliki tingkat kepadatan jentik yang tinggi, sehingga disarankan pemberantasan sarang nyamuk tidak hanya diprioritaskan pada daerah endemis DBD tetapi juga daerah daerah bebas DBD. The larva density is an indication of the density of Aedes sp known to be capable of transmitting the dengue virus as the cause of dengue haemorrhagic fever (DHF) and also as one of the indicators of the success of vector control activities. This study aimed to determine the difference of the water container container characteristics and the larvae density (HI, CI, BI) in Alak village as an endemic area and in Belo Village as a free area of dengue in Kupang Municipality. This analytic observational study using cross sectional study design. Observed variables were the type, the condition, the location, the material of water container and also the larvae density. Data collected by direct observation in water container and house. Data presented in tables were analyzed by t-test. This study found positive larvae at most container is for everyday need, on not sealed condition, in outside the home, and in a ceramic material. The study also found the value of HI is 0.887, CI is 0.146 and BI is 0.080. It means that larvae density between Alak and Belo Village is not different. The conclusion is that there is no difference in the larvae density (HI, CI, and BI) between endemic area and free area of DHF. The two regions have the same high level of larvae density, so it is advisable that mosquito eradication is not only priority in endemic areas but also in dengue-free areas.

References

1. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survei entomologi demam berdarah dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007.

2. Sutaryo. Dengue. Yogyakarta: Medika UGM; 2004.

3. UNICEF, UNDP, World Bank, WHO. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva: WHO; 2009.

4. Halstead SB. Dengue-virus mosquito interactions. Annual Review Entomology. 2008; 53: 273-91.

5. Young-Su JK, Moo-Key A, Young-Joon. Larvacidal activity of brazillian plants againts Aedes aegypti and Culex pipiens pallens (Diptera: Culicidae). Agricultural Chemistry and Biotechnology. 2002; 45: 131-4.

6. WHO-SEARO. Prevention and control fo dengue and dengue haemorrhagic fever. New Delhi: WHO-SEARO Pub; 2001.

7. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Demam berdarah dengue di Indonesia Tahun 1969-2009. Buletin Jendela Indonesia. 2010; 2: 1-14.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.

9. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005.

10. Dinas Kesehatan Kota Kupang. Laporan tahunan Kota Kupang 2011. Kupang: Dinas Kesehatan Kota Kupang; 2011.

11. Dinkes Kota Kupang. Profil kesehatan Kota Kupang 2012. Kupang: Dinas Kesehatan Kota Kupang; 2012.

12. Dinas Kesehatan Kota Kupang. Profil kesehatan Kota Kupang 2010. Kupang: Dinas Kesehatan Kota Kupang; 2011.

13. Notoatmodjo S. Metodelogi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2002.

14. Widagdo L, Husodo BT, Bhinuri. Kepadatan jentik Aedes aegypti sebagai indikator keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk (3M Plus): di Kelurahan Srondol Wetan, Semarang. Makara Seri Kesehatan. 2008; 12 (1): 3-19.

15. Anggraeni DN. Stop! demam berdarah dengue. Bogor: Bogor Publ House; 2010.

16. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pemberantasan nyamuk penular penyakit demam berdarah dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1992.

17. Promprou S, Jaroensutasinee M, Jaroensutasinee K. Climatic factors affecting dengue haemorrhagic fever incidence in Siutern Thailand. Dengue Bulletin. 2005; 29: 41-8.

18. Rachman Y. Survei kepadatan jentik Nyamuk Aedes sp pada rumah berdinding bebak dan tembok di Kelurahan Oebufu Kota Kupang Tahun 2009 [laporan penelitian]. Kupang: Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Kupang; 2009.

19. Barrera R, Delgado N, Jimenez M, Valero S. Eco-epidemiological factors associated with hyperendemic dengue haemorrhagic fever in Maracay City, Venezuela. Dengue Bulletin. 2002; 26: 84-95.

20. Hasyimi M, Soekirno M. Pengamatan tempat perindukan Aedes aegypti pada tempat penampungan air rumah tangga pada masyarakat pengguna air olahan. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2004; 31: 37-42.

21. De Freitas RM, Codeco CT, De-Oliveira RL. Daily survival rates and dispersal of Aedes aegypti female in Rio de Janeiro, Brazil. American Journal Tropical Medical Hygiene. 2007; 76 (4): 659-65.

22. Sunaryo, Pramestuti N. Surveilans Aedes aegypti di daerah endemis demam berdarah dengue. Kesmas: Jurnal Kesehtan Masyarakat Nasional. 2014; 8 (8): 423-9.

23. Strickman D, Kittayapong P. Dengue and its vectors in Thailand: calculated transmission risk from total pupal count of Aedes aegypti and association of wing-length measurement with aspect of the larval habitat. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2003; 68 (2): 209-17.

24. Scott TW, Morrison AC. Aedes aegypti density and the risk of denvir. USA: University of California; 2002.

25.Wanti. Infeksi transovarial virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kota Kupang. Buletin Epidemiologi. 2011;Ed Jan - Mar:20-7.

26. Egizi A, Healy SP, Fonseca DM. Rapid Blood meal scoring in anthropophilic Aedes albopictus and application of PCR blocking to avoid pseudogenes. Infection, Genetics and Evolution. 2013;16:122-8.

27. Thu HM, Aye KM, Thein S. The Effect of temperature and humidity on dengue virus propagation in Aedes aegypti Mosquitoes. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Publich Health. 1998; 29 (2): 280-4.

28. Gubler DJ, Rosen L, Kramer LD, Presser SB, Shroyer DA, Turell MJ. Variation among geografis strain of Aedes albopictus in susceptibility to infection with dengue viruses. American Journal of Tropical Medicine Hygiene. 1980; 25 (2): 318-25.

29. Joshi V, Murya DT, Sharma RC. Persistence of dengue-3 virus through transovarial transmission passage in succesive generations of Aedes aegypti mosquitoes. American Journal of Tropical Medicine Hygiene. 2002; 67 (2): 158-61.

30. Hadinegoro H, Rejeki S. Demam berdarah dengue: (naskah lengkap) pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus demam berdarah dengue. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2005.

Share

COinS