Abstract

Indonesia tercatat memiliki 304.787 penderita tuberkulosis yang menempatkannya pada peringkat ketiga terbanyak di dunia. Penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia serta nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. Angka kepadatan hunian rumah di Kota Palembang 5,84 lebih tinggi daripada angka ideal kepadatan hunian rumah. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara sumber penular serumah, faktor lingkungan dalam rumah, dan karakteristik individu terhadap kejadian tuberkulosis paru basil tahan asam (BTA) (+) di Kota Palembang. Penelitian yang menggunakan desain kasus kontrol ini membandingkan kelompok kasus (BTA(+)) dan kelompok kontrol (BTA (-)) yang dilakukan di 16 wilayah kerja puskesmas dari 36 puskesmas yang ada di Kota Palembang. Model akhir diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru BTA (+) adalah variabel status gizi. Seseorang yang bermukim di rumah dengan hunian kamar memiliki tingkat kepadatan tinggi (< 4 meter/orang), jenis kelamin laki laki, dan status gizi yang buruk (indeks massa tubuh, IMT > 25,1 dan < 18,4) berisiko untuk menderita penyakit tuberkulosis paru BTA(+) 29 kali lebih besar dibanding orang yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut.

Indonesia there were recorded 304.787 cases of tuberculosis that places at the third level in the world. Tuberculosis is the third level disease which caused of death after cardiovasculer and respiratori tract disease in all age groups and at the first level from all infectious disease. The residence density rate in Palembang is higher 5,84 times than ideal rate. The objective of this study is aimed to evaluate the relationship between the source of infection in house, the environment in the house, and the individual characteristic with the occurrence of lung tuberculosis BTA (+) in Palembang City. The design of this study is case control comparing case group of tuberculosis (BTA (+)) and case of control group of BTA. This study was conducted in 16 work areas of 36 health centers in Palembang. In multivariat model, it is known that the closest relationship with the occurrence of tuberculosis is nutritional status. A person who lives with high density of residence (< 4 meter/ man), male, and bad status of nutrition (body mass index, BMI > 25,1 and < 18,4) has higher risk for having tuberculosis 29 times than who has not the risk factor.

References

  1. World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines for national programmes. 2nd ed. Geneva: World Health Organization; 1996.
  2. Departemen Kesehatan RI. Penanggulangan tuberkulosis perlu komitmen semua pihak. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2003 [edisi 2003, diakses tanggal 20 April 2003]. Diunduh dari: http://www.ppmplp.depkes.co.id.
  3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan Kedelapan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2002.
  4. Departemen Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia 2000. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001.
  5. Soesanto SS. Hubungan kondisi perumahan dengan penularan penyakit ISPA dan TB Paru. Media Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2000.
  6. Hidayat MS. Konsep pembangunan perumahan dan pemukiman dari aspek kesehatan. Jakarta: Seminar Perumahan, Lingkungan, dan Kesehatan.
  7. Sanropie J. Pengawasan penyehatan lingkungan pemukiman. Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Dinas Kesehatan Jakarta; 1986.
  8. Sukarni M. Pengantar epidemiologi. Jakarta: Dian Rakyat; 1994.
  9. Yunus F, Rasmin M, Hudoyono A, Mulawarman A, Swi DB. Diagnostik tuberkulosis paru. Jakarta: Bagian Pulmonologi Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia; 1992. Hlm. 43-50.
  10. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Profil kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2002. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan; 2002.
  11. CDC Atlanta. Pedoman lokakarya penggunaan metode epidemiologi. Studi Kesehatan Reproduksi. Jakarta: BKKBN; 1989.
  12. Suyono S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.
  13. Adam JMMc. The spectrum of tuberculosis in New York City men’s shelter clinic (1982-1988). Chest. 1990; 97 (4).
  14. Dahlan A. Faktor-faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penyakit TB paru BTA (+) (studi kasus kontrol) di Kota Jambi tahun 2000-2001 [tesis]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2001.
  15. Margono BP. Hubungan diet dengan tuberkulosis paru dalam Kongres Nasional ke-II Ikatan Dokter Paru Indonesia 18-20 Juni. Surabaya: 1980.
  16. World Health Organization. Report of the tuberculosisi epidemic. Group at risk 1996. Geneva: World Health Organization; 1998.
  17. Suraatmaja S. Imunisasi. Jakarta: Arcan; 1991.
  18. Supriyono D. Lingkungan fisik rumah sebagai faktor risiko terjadinya penyakit TB paru BTA (+) di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor tahun 2002 [tesis]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2003.
  19. Aditama TY, Priyanti. Tuberculosis diagnosis, terapi, dan masalahnya. Edisi ke-3. Jakarta: Laboratorium Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Colaboration Centre fo Tuberculosis; 2000.
  20. Aditama TY. Rokok dan kesehatan. MKMI. 1996; XXVI (8).
  21. Atmosukarto K. Pengaruh lingkungan pemukiman dalam penyebaran penyakit tuberkulosis. Jakarta; 1992.
  22. Sularso K. Studi kasus kontrol faktor risiko TB paru di Kotamadya Surakarta tahun 1994. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 1994.
  23. Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 1997.
  24. Atmosukarto K. Hubungan kondisi perumahan dengan penularan penyakit ISPA dan TB paru dalam Lokakarya Sehari Penyehatan Pemukiman. Jakarta; 2000.

Included in

Epidemiology Commons

Share

COinS