•  
  •  
 

Abstract

Kesehatan merupakan hak asasi manusia, sehingga upaya pelayanan pengobatan untuk penduduk miskin tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang konsumsi, tetapi sebagai investasi untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi tentang akses penduduk miskin pada pelayanan rumah sakit melalui program Askeskin di Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan informan kunci adalah pejabat di RSU Prof. DR. W.Z. Johannes NTT dan PT Askes cabang Kupang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa jumlah kartu yang diterbitkan tidak sesuai dengan realita jumlah maskin dan ada oknum tidak maskin yang menggunakan fasilitas Askeskin. Juga ditemukan beberapa obat yang tercantum dalam formularium Askeskin tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Sehingga pasien miskin terpaksa diberi obat sejenis dari luar formularium dengan konsekuensi harga yang lebih mahal dan harus ditanggung oleh pihak rumah sakit karena tidak dapat diklaim. Selain itu, ketiadaan dukungan dana dari pemerintah daerah, mengakibatkan segala pembiayaan di luar pertanggungan Askeskin harus dibebankan pada rumah sakit penyelenggara pelayanan kesehatan.

Public health improvement, especially for underprivilege, needs more attention. Health issues should not be considered as a matter of mere consumption. Health should be viewed as an investment in order to achieve welfare as one of many faces of human rights. This research was aim at gathering information on the improvement of health access at the hospital designated for under-privilege through Askeskin by PT Askes in East Nusa Tenggara (NTT). The research used qualitative approach with key informants of official at Prof. DR. W.Z. Johannes General Hospital of NTT and PT Askes Kupang branch. The research shows that the total number of distributed cards was not a reflection of the actual number of poor people and there were individuals that not fall into poor category using Askeskin facilities. There were also finding on drugs other than formularium, which brought it to an increase in price and the hospital has to be responsible for the additional cost for they could not claim it. Moreover, there were no financial support from local government, causing a delay on the payment other than Askeskin and the health service provider, e.i. hospital held responsible to it.

References

  1. BPS. Jumlah penduduk miskin turun. [diakses tanggal 16 Agustus 2007]. Diunduh dari: http://www.tempointeraktif.com.
  2. Badan Litbang Depkes RI. Laporan penelitian asesmen determinan utilisasi, askes dan kepuasan konsumen pel.kes, khususnya pada masyarakat miskin di daerah sulit, terpencil dan daerah miskin perkotaan. Cisarua: Litbang Depkes RI; 2006.
  3. Asuransi Kesehatan. Tunggakan askeskin. [diakses tanggal 30 Maret 2007]. Diunduh dari: http://www.kompas.co.id.
  4. Widjajanti S. Tantangan pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Jurnal SMERU. 2006; 20.
  5. Arifianto & Ruly. Program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga miskin. Jakarta: Diklat Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi; 2005.
  6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin tahun 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005.
  7. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006.
  8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007.
  9. [diakses tanggal 2 Mei 2005]. www.//bppt.go.id/rakorbangnas03/depkes4.pdf.

Included in

Health Policy Commons

Share

COinS