•  
  •  
 

Abstract

Kehamilan pranikah remaja adalah fenomena kehidupan remaja yang dapat mengganggu kesehatan reproduksi secara fisik, mental dan sosial serta komplikasi dan kematian ibu dan bayi. Secara psikososial, remaja dapat terkucil, merasa malu, depresi, putus sekolah, sulit bekerja, miskin dan menambah pertumbuhan penduduk. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran epidemiologi dan faktor determinan dengan kehamilan pranikah remaja di Kabupaten Sumedang. Rancangan studi yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan studi cross sectional. Penelitian ini menemukan prevalensi kehamilan pranikah remaja di Kabupaten Sumedang tinggi (40,5%). Faktor yang berhubungan dengan kehamilan pranikah remaja meliputi usia ketika hamil, frekuensi pacaran, pola asuh orang tua, keutuhan pernikahan orang tua dan keterpaparan teman. Disarankan untuk melakukan peningkatan metoda pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas dikalangan remaja, menambah jumlah kader remaja (peer educator) melalui pendidikan dan pelatihan. Meningkatkan keterlibatan orang tua mendampingi remaja melalui masa transisi kehidupan, mendirikan pusat konsultasi dan youth centre.

Pre-marital pregnancy among teenagers is one phenomenon occurred in adolescent’s life that can affect the reproductive health status physically, mentally and socially. It causes complication leading to death risk for both mother and her infant. Psycho-socially, teenagers could be isolated, felt ashamed, deppressed, being dropped out of school, difficult to find job, sunk into poverty, and increase population growth rate. This research objective is to describe the epidemiologic situation of pre-marital pregnancy among teenagers and to investigate its determinant factors in Sumedang District. This research found prevalence of pre-marital pregnancy of 40.5%. There are several factors related to pre-marital preganncy, that is, age, frequency of having a dating relationship, parental control, success of parental marriage, and peer exposure. Parental control has the highest OR of 2,90. Based on this research it is suggested to improve reproductive health services including teenage sexual education, to increase the number of peer educator through adequate education and training, and to improve parent’s involvement to accompany their teenagers through difficult phase of life’s transition, and to establish consultation for teenager center.

References

  1. Soetjiningsih et.al. Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: CV. Sagung Seta; 2004.
  2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
  3. Prawirohardjo. [diakses tanggal 21 Desember 2006]. Diunduh dari : http://www.bkkbn.go.id/article_detail
  4. Emanuel I, Kimpo C, Moceri V. The association of maternal growth and socio-economic measures with infant birthweigth in four ethnic groups. Int J Epidemiology. 2004; 33(6): 1249-51.
  5. Pratiwi. Pendidikan seks untuk remaja. Yogyakarta: Tugu Publisher; 2004.
  6. Departemen Kesehatan RI, WHO. Profil kesehatan Republik Indonesia 2003. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, WHO; 2003.
  7. BKKBN. Pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Jakarta: BKKBN; 2001.
  8. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan. Edisi 1. Jakarta: EGC; 2003.
  9. Departemen Kesehatan RI. Pelayanan kesehatan peduli remaja. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2003.
  10. Yusuf, Syamsu. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Rosda Karya; 2005.
  11. Handajani. Kehidupan seksual remaja di daerah kumuh perkotaan Jakarta. Majalah Kesehatan Perkotaan. 2001; Tahun VIII, No. 2: 33-45.
  12. Hurlock, Elizabeth. Psikologi perkembangan, alih bahasa Istiwidayanti, editor Ridwan Max Sijabat. Edisi V. Jakarta: Erlangga; 1996.

Share

COinS