Abstract

Pengaruh bahaya bising dan kimia terhadap timbulnya gangguan pendengaran diketahui dengan baik, tetapi pengaruh penyakit kronis hipertensi terhadap timbulnya gangguan pendengaran sensorineural belum banyak timbulnya gangguan pendengaran sensorineural. Penelitian ini dilakukan di Perusahaan minyak A di Kalimantan Timur, Indonesia. Subyek penelitian adalah pekerja terpajan bahaya bising dan kimia. Desain studi yang digunakan adalah Kasus Kontrol. Kasus adalah penderita gangguan pendengaran yang dilihat pada data medical check up tahun 2003. Hasil pengukuran dosimetri kebisingan rata-rata 87,12 dBA (150,98 %) yang merupakan TWA 12 jam. Data pengukuran lingkungan dan dosimetri BTX masih di bawah ambang batas dari ACGIH 2005. Didapatkan gangguan pendengaran sensorineural pada 30 subyek (18,8 %) dari 160 subyek penelitian. Dari analisis multivariat gangguan pendengaran sensorineural dipengaruhi oleh hipertensi, masa kerja > 20 tahun, kebiasaan merokok, kadar kolesterol total darah > 200 mg %. Disimpulkan bahwa gangguan pendengaran sensorineural 30 subyek (18,8 %), gangguan pendengaran dengan hipertensi 10 subyek ( 33,33 % ). Hipertensi mempengaruhi/ berhubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural. Faktor risiko lain yang mempengaruhi timbulnya gangguan pendengaran adalah masa kerja > 20 tahun, kebiasaan merokok, kadar kolesterol darah > 200 mg %.

The impact of noise and chemical hazards to hearing is well known, but less is known about the effect of chronic diseases such as hypertension to hearing loss. This study was conducted in Oil Company A in East Kalimantan, Indonesia. Subjects of the study were workers exposed to noise and chemical hazards. The study design was case-control with cases were patients suffered from hearing impairment recorded in medical check-up data year 2003. Results of noise dosimetry shows mean 12 hours TWA of 87.12 dBA (150.98%). The measurements of BTX dosimetry and environment were still under the limit of ACGIH 2005. There were sensorineural impairment among 30 subjects (18.8%) out of 160 subjects. Multivariate analysis shows that sensorineural impairment was influenced by hypertension, work length more than 20 years, smoking habit, and total blood cholesterol more than 200 mg%.

References

  1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005, Gebrak Malaria, Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Kedua, 1-2, 15-16.
  2. Maryatun, 2004. Penilaian Kasus Kegagalan Pengobatan Klorokuin terhadap Penderita Malaria Falciparum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Kajian secara Invivo pada Penderita Malaria Falciparum Ringan/Tanpa Komplikasi pada Beberapa Puskesmas di Kota Sabang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Tesis S2, Yokyakarta : Program Pascasarjana UGM : 1-4, 45-50.
  3. Dinas Kesehatan Kotamadya Sabang, 2005 : Laporan Pengobatan dan Penemuan Penderita Malaria di Kota Sabang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sub Din P2P.
  4. Tambajong E.H., 2000, Patobiologi Malaria, Dalam : Harijanto P.N. (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Hal: 96-99.
  5. Purwaningsih S, Diagnosis Malaria, Dalam : Harijanto P.N. (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 185- 187.
  6. Seidlein LV, et al, Efficacy of artesunate plus pyrimethamine-sulphadoxine for uncomplicated malaria in Gambian children, The Lancet, Jan 29, 2000, pp 352
  7. Erhart LM, et al, Hematologic and clinical indices of malaria in a semi immune population of western Thailand, Am.J.Trop.Med.Hyg, 70(1), 2004, pp 8-14 8. Pitmang SL, et al, Comparison of sulphadoxine-pyrimethamine with and without chloroquine for uncomplicated malaria in Nigeria, Am.J.Trop.Med.Hyg, 72(3), 2005, 263-266.
  8. Pitmang SL, et al, Comparison of sulphadoxine-pyrimethamine with and without chloroquine for uncomplicated malaria in Nigeria, Am.J.Trop.Med.Hyg, 72(3), 2005, 263-266.

Share

COinS