Environmental, Behavioral Factors and Filariasis Incidence in Bintan District, Riau Islands Province
Abstract
Tingkat mikrofilaria filariasis di Kabupaten Bintan masih tinggi, khususnya di Kecamatan Teluk Bintan, Teluk Sebong, dan Sri Kuala Lobam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor risiko lingkungan (faktor fisik, biologi, kimia, sosial budaya, ekonomi) dan faktor perilaku dengan kejadian filariasis. Jenis penelitian observasional analitik yang dilakukan pada Mei – September 2015 dengan desain kasus kontrol, yang terdiri dari jumlah kasus 33 orang penderita filariasis dan kontrol 65 orang bukan penderita filariasis dengan teknik cluster sampling. Populasi penelitian adalah masyarakat di Kabupaten Bintan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji kai kuadrat dan regresi logistik. Hasil menunjukkan adanya hubungan pengetahuan (nilai p = 0.045; OR = 1.365), kawat kasa (nilai p = 0.048; OR = 1.381), kandang ternak (nilai p = 0.018; OR = 3,5), rawa-rawa (nilai p = 0.038; OR = 1.358), perkebunan/hutan (nilai p = 0.035; OR = 0.373), dan penggunaan kelambu (nilai p = 0.036; OR = 1.417) sebagai faktor risiko kejadian filariasis. Sebagai kesimpulan, variabel yang paling berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bintan adalah pengetahuan (OR = 6.154), penggunaan kelambu (OR = 3.861) dan jarak dengan rawa-rawa (OR = 3.668). Microfilaria rate of filariasis in Bintan District remains high, especially in Teluk Bintan, Teluk Sebong, and Sri Kuala Lobam Subdistricts. This study aimed to determine relation between environmental risk factors (physical, biological, chemical, socio-cultural, economic) and behavioral factors with filariasis incidence. The study was an analytic observational study conducted on May – September 2015 using case control design, which consisted of a total of case as many as 33 filariasis sufferers and a total of control as many as 65 non filariasis sufferers as taken by cluster sampling technique. Population of study was people in Bintan District. Data obtained were then analyzed by using chi square and logistic regression test. Results showed correlation of knowledge (p value= 0.045; OR = 1.365), wire-net use (p value = 0.048; OR = 1.381), stockyard (p value= 0.018; OR = 3.5), swamp (p value = 0.038; OR = 1.358), plantation/forest (p = 0.035; OR = 0.373) and mosquito-net use (p value = 0.036; OR = 1.417) as risk factor of filariasis incidence. In conclusion, variables most related to filariasis incidence in Bintan District are knowledge (OR = 6.154), mosquito-net use (OR = 3.861) and distance to swamp (OR = 3.668).
References
1. World Health Organization. Monitoring and epidemiological assessment of the program to eliminate lymphatic filariasis at implementation unit level. Geneva: World Health Organization; 2005.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penentuan daerah endemis penyakit kaki gajah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Mengenal filariasis (penyakit kaki gajah). Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009.
4. Ramadhani T. Filariasis limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2008; 3 (2): 51 - 6.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan massal penyakit kaki gajah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan; 2002.
6. Srividya A, Michael E, Palaniyandi M, Pani SP, Das PK. A geostatistical analysis of ymphatic Filariasis prevalence in Southern India. American Journal of Tropical Medicine & Hygiene. 2002; 67 (5): 480 - 9.
7. Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan. Profil dinas kesehatan Kabupaten Bintan 2013. Bintan: Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan; 2013.
8. Agustiantiningsih D. Praktik pencegahan filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Unnes. 2013; 8 (2): 190 - 7.
9. Syuhada Y, Nurjazul, Wahyuningsih NE. Studi lingkungan rumah dan perilaku masyarakat sebagai faktor risiko kejadian filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012; 11 (1): 95 - 101.
10. Uloli R. Faktor-faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Bone Bolango, Propinsi Gorontalo [magister thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2007.
11. Ambar TG, Jastal, Rosmini, Hayani A, Yuyun S,Yudith L. Filariasis dan beberapa faktor yang berhubungan dengan penularannya di Desa Pangku-Tolole, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi-Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Vektora. 2013; 5 (2): 54 - 65.
12. Nasrin. Faktor lingkungan dan perilaku yang berkaitan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bangka Barat [magister thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008.
13. Graham, Andrea L. Malaria-filaria coinfection in mice malarial desease more severe unless filarial infection achieves. Infectious Disease. 2015; 191 (3): 410-21.
14. Sabesan S, Raju Hk, Srividya A, Das PK. Delimitation of lymphatic filariasis transmission risk areas: ageo-environmental approach. Filaria Journal. 2006; 5 (12): 1-6.
15. Made AN. Aspek epidemiologis dalam penanggulangan filariasis di Indonesia. Jurnal Vektor Penyakit. 2009, 3 (1): 33-40.
16. Jontari, Hari K, Supargiyono, Hamim S, Faktor-faktor risiko kejadian penyakit lymphatic filariasis di Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat Tahun 2010. Outbreak, surveillance and investigation report [ serial on internet]. March 2014 [cited 2015 Nov 5]; 7 (1): 9-15. Available form http://www.osirjournal.net /upload/files /2_%20LF20 (Indonesia) .pdf
17. Ardias, Setiani, Hanani. Faktor lingkungan dan perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Sambas. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2012; 11(2): 199 - 207.
18. Febrianto B, Astri M, Maharani, Widiarti, Faktor risiko filariasis di Desa Samborejo, Kecamatan Tirno, Kabupaten Pekalongan Jawa Tegah [online]. Available from: http://litbangdepkes.go.id/-djunaedi/documentation/360208pdf/bagus.pdf
19. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman program eliminasi penyakit kaki gajah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005.
20. Sipayung M, Wahjuni CU, Devy SR. Pengaruh lingkungan biologi dan upaya pelayanan kesehatan terhadap kejadian filariasis limfatik di Kabupaten Sarmi. Jurnal Berkala Epidemiologi. Mei 2014; 2 (2): 263- 73.
21. Upadhyayula SM, Mutheneni SR, Kadiri MR, Kumaraswamay S, Nagalla B. A cohort study of lymphatic filariasis on socio economic conditions in Andhra Pradesh, India. PloS one. 2012; 7(3): e33779.
22. Windiastuti IA, Suhartono, Nur, Suhartono, Nurjazuli. Hubungan kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan perilaku masyarakat dengan kejadian filariasis di Kecamatan Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. April 2013; 12 (1): 51 - 7.
23. Lasbudi P. Studi komunitas nyamuk di Desa Sebubus (daerah epidemis filariasis) Sumatera Selatan tahun 2004. Jurnal Ekologi Kesehatan. April 2006; 5(1): 368 - 75.
24. Anshari, R. Analisis faktor risiko kejadian filariasis di Dusun Tanjung Bayur Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak [thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2014.
25. Mulyono RA. Risk factor environmental and behaviour influence the occurance of filariasis (case study in area Pekalongan). Jurnal Bina Sanitasi. Desember 2008; 1 (1): 18 - 27.
26. Suwasno H. Peranan tumbuhan air sebagai pengurang pencemaran dan tumbuhan inang vektor filariasis Mansonia sp. Media penelitian dan pengembangan kesehatan. 2008; 36 (2): 48 - 58.
27. Pranoto AM. Beberapa aspek perilaku An. farauti di Klademak IIA. Cermin dunia kedokteran. 1995; 10 (1): 199 - 204.
28. Juriastuti P, Kartika M, Djaja IM, Susanna D. Faktor risiko kejadian filariasis di Kelurahan Jati Sempurna. Makara Seri Kesehatan. Juni 2010; 14 (1): 31-6.
29. Agrawal Lt Col Vk, Shasindran Wg Cdr VK. Lymphatic filariasis in India: problems, challenges and new initiatives. Medical Journal Armed Force India. 2006; 62 (4): 359 - 62.
30. Burton GJ. Attack on the vector on filariasis in British Guiana. Public Health Report (1896-1970) [online]. Februari 1964 [cited 2015 Jan 5]; 79 (2). Available from: http://www.jstor.org/ stable /4592075.
31. Rath K, Nath N, Mishra S, Swain K, Mishra S, Babu V. Knowledge and perceptions about lympahatic filariasis: about lymphatic filariasis: a study during the programme to eliminate lymphatic filariasis in an urban community of Orissa, India. Tropical Biomedicine. 2006; 23: 156 - 62.
32. David GA, Molly AB. Morbidity management in global programme to eliminate lymphatic Filariasis : a review of scientific literature. Filaria Journal. 2007; 6 (2): 1 - 19.
Recommended Citation
Ikhwan Z , Herawati L , Suharti S ,
et al.
Environmental, Behavioral Factors and Filariasis Incidence in Bintan District, Riau Islands Province.
Kesmas.
2016;
11(1):
39-45
DOI: 10.21109/kesmas.v11i1.546
Available at:
https://scholarhub.ui.ac.id/kesmas/vol11/iss1/7
Included in
Biostatistics Commons, Environmental Public Health Commons, Epidemiology Commons, Health Policy Commons, Health Services Research Commons, Nutrition Commons, Occupational Health and Industrial Hygiene Commons, Public Health Education and Promotion Commons, Women's Health Commons