•  
  •  
 

Authors

Irman Firmansyah, Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ KSM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia
Hamzah Shatri, Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, JakartaFollow
Rudi Putranto, Divisi Psikosomatik dan Paliatif, KSM. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, JakartaFollow
Yanuar Ardani, Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ KSM Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang, Indonesia
Eka Ginanjar, Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ KSM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia
sukamto koesnoe, Unit Epidemiologi Klinik, Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ KSM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo Jakarta, IndonesiaFollow
Aulia Rizka, Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS dr. Cipto Mangunkusumo, JakartaFollow
Harry Isbagio, Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ KSM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia
Em Yunir, Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ KSM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia

Abstract

Introduction. Psychological disorders are closely associated with hormonal factors, including cortisol and serotonin. In patients with acute coronary syndrome (ACS), autonomic dysfunction and dysregulation of the hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) axis can occur, leading to an increase in cortisol levels that may worsen the prognosis of ACS patients. Therefore, it is important to understand the hormonal impact, namely cortisol and serotonin levels, on depressive symptoms, which will be examined in this study.

Methods. This was a cross-sectional study to determine the impact of cortisol and serotonin in the incidence of depression in post-treatment ACS patients at the ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Data collection from patients meeting the inclusion criteria was carried out 10-14 days post-treatment through interviews, HADS questionnaire completion, physical examinations, and laboratory tests. The Mann-Whitney test was used to examine the differences between serotonin and salivary cortisol levels in patients with and without depression.

Results. Among the 73 ACS patients included in this study, the average age was 57.53 (9.97) years, with 68.5% was male. Posttreatment depression was observed in 15.1% of subjects. The median serotonin levels were lower in patients with depression [175 (147 – 227.64) ng/mL vs. 189.31 (152.87-235.44) ng/mL], while cortisol levels were higher in patients with depression [3.09 (1.46-6.26) ng/mL vs. 2.15 (0.92-3.91) ng/mL]. However, the statistical analysis showed no significant differences between plasma serotonin and depression (p=0.482) or saliva cortisol and depression (p=0.275).

Conclusions. There were no significant differences in cortisol and serotonin levels concerning depressive symptoms among post-acute coronary syndrome patients. Nevertheless, this study holds clinical importance due to the observed lower plasma serotonin levels and higher saliva cortisol levels in ACS patients with depression.

Bahasa Abstract

Pendahuluan. Gangguan psikis memiliki hubungan yang erat dengan pengaruh hormonal seperti kortisol dan serotonin. Pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dapat terjadi disfungsi otonom dan disregulasi aksis hypothalamus pituitary adrenal (HPA) yang menyebabkan peningkatan kortisol yang dapat memperburuk prognosis pasien SKA. Sehingga, penting untuk mengetahui pengaruh hormonal yaitu kadar kortisol dan serotonin terhadap gejala depresi yang akan ditelaah pada penelitian ini.

Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui peran kortisol dan serotonin terhadap kejadian depresi pada pasien SKA pasca perawatan di ICCU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengambilan data pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan 10-14 hari pasca perawatan melalui wawancara, pengisian kuesioner HADS, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Uji Mann whitney digunakan untuk melihat perbedaan kadar serotonin dan kortisol saliva pada pasien SKA dengan dan tanpa depresi.

Hasil. Dari total 73 pasien SKA, didapatkan rerata usia 57,53 (9,97) tahun dan 68,5% berjenis kelamin laki-laki, serta sebanyak 15,1% mengalami depresi pasca perawatan. Median kadar serotonin ditemukan lebih rendah pada pasien dengan depresi [175 (147 – 227,64) ng/mL vs. 189,31 (152,87-235,44) ng/mL], sedangkan kadar kortisol ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan depresi [3,09 (1,46-6,26) ng/mL vs. 2,15 (0,92-3,91) ng/mL]. Namun demikian, uji statistik antara serotonin plasma terhadap depresi menunjukkan hasil yang tidak bermakna secara statistik, demikian pula dengan kortisol saliva.

Kesimpulan. Secara statistik, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kadar kortisol maupun serotonin terhadap gejala depresi pada pasien pasca sindrom koroner akut. Namun, penelitian ini bermakna secara klinis dilihat dari kadar serotonin plasma yang lebih rendah serta kadar kortisol saliva yang lebih tinggi pada pasien SKA dengan depresi. Kata Kunci: Depresi, kortisol, serotonin, pasca sindrom koroner akut

Share

COinS
 
 

To view the content in your browser, please download Adobe Reader or, alternately,
you may Download the file to your hard drive.

NOTE: The latest versions of Adobe Reader do not support viewing PDF files within Firefox on Mac OS and if you are using a modern (Intel) Mac, there is no official plugin for viewing PDF files within the browser window.