•  
  •  
 

Indonesian Notary

Abstract

This research is an analysis of the procedure of making a marriage agreement based on the applicable laws and regulations. Since the enactment of the Constitutional Court Decision No. 69/PUU-XIII/2015, in order for a marriage agreement to be valid between the parties and related third parties, it must be made in the form of a notarial deed followed by a registration to the marriage registrar. However, the judge in Decision No. 59/Pdt.G/2018/PN Bgr acknowledges the existence of a marriage agreement which is a privately made deed and states that there is no joint property between the couple. This study is a normative juridical research, with a typology of evaluative research and a case study approach. The results of the research is marriage agreements that are not followed by registration to the marriage registrar do not apply to related third parties, for example if one of the parties wants to sell or pledge the assets in the future. As a result, assets acquired in marriage are still considered joint assets and the spouse's approval is required to take legal action against these assets as regulated in Article 36 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage. Based on the analysis that has been done, it is suggested to the government to revise Article 29 of Law no. 1 of 1974 to explicitly state that the marriage agreement must be made in the form of a notarial deed followed by approval to the marriage registrar as a condition for the validity of the agreement to the relevant third parties.

Bahasa Abstract

Penelitian ini merupakan analisis terhadap prosedur pembuatan perjanjian perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, agar perjanjian perkawinan berlaku antara para pihak serta pihak ketiga terkait, maka harus dibuat dalam bentuk akta notaris serta diikuti pencatatan ke pegawai pencatat perkawinan. Namun, hakim dalam Putusan No. 59/Pdt.G/2018/PN Bgr mengakui keberadaan perjanjian perkawinan yang hanya dibuat di bawah tangan serta menyatakan bahwa tidak terdapat harta bersama dalam perkawinan karena telah dibuat perjanjian perkawinan tersebut. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan tipologi penelitian evaluatif serta pendekatan studi kasus. Hasil penelitian dalam artikel ini adalah perjanjian perkawinan yang tidak diikuti pencatatan kepada pegawai pencatat perkawinan tidak berlaku terhadap pihak ketiga terkait contohnya jika salah satu pihak ingin menjual atau menjaminkan aset tersebut dikemudian hari. Akibatnya, harta yang diperoleh dalam perkawinan tetap dianggap sebagai harta bersama dan diperlukan persetujuan pasangan untuk melakukan tindakan hukum terhadap aset tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka disarankan kepada pemerintah untuk merevisi Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 agar menyatakan secara eksplisit bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta notaris dan kemudian diikuti pengeshan ke pegawai pencatat perkawinan sebagai syarat berlakunya perjanjian tersebut ke pihak ketiga terkait.

Share

COinS