•  
  •  
 

Abstract

Living law is an inseparable part of the Indonesian criminal law system. However, in perspective of legality principle, living law causing pros and cons. The idea of regulating the living law in Indonesian Penal Code Bill (Article 2 paragraph 1), as the basis for criminal prosecution, for unregulated act is still debated. The issue that will be analysed in this article is how to apply living law/adat law as a basis for prosecuting criminals related to the existence of legality principle and, how to measure the enforcement of living law in criminal process. Based on the analysis using the principle of legality, it can be concluded that living law, as basis for prosecution, is contrary to principle of legality and protection of human rights. The enactment of living law can potentially create legal uncertainty and abuse of power by the government. Law enforcement against living law is also difficult to implement, because it is tied to the four indicators contained in Article 2 paragraph (2) Indonesia Penal Code where the four indicators are cumulative. Therefore, the living law provision better not be placed as part of general principles in the Indonesian Penal Code Bill.

Bahasa Abstract

Hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem hukum pidana Indonesia. Akan tetapi pada saat keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat ditempatkan sebagai bagian dari hukum positif menimbulkan permasalahan baru terutama dalam perspektif asas legalitas. Perdebatan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat yang terdapat dalam Pasal 2 RKUHP sebagai dasar penuntutan pidana meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang pidana belum menemukan titik temu. Permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dijadikan sebagai dasar untuk menuntut pidana dihubungkan dengan asas legalitas dan, bagaimana ukuran pemberlakuan hukum yang hidup dalam proses penegakan hukum. Berdasarkan analisis dengan menggunakan asas legalitas diperoleh kesimpulan bahwa keberadaan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang menjadikan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menentukan seseorang dapat dipidana meskipun undang-undang tidak mengaturnya bertentangan dengan asas legalitas dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemberlakuan hukum yang hidup dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara serta menimbulkan kesewenang-wenangan bagi pemerintah. Disamping itu, untuk memberlakukan hukum yang hidup, kesulitan yang dapat dialami oleh penegak hukum terkait empat indikator yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) RKUHP yang bersifat kumulatif. Oleh karena itu, sebaiknya ketentuan tentang hukum yang hidup sebaiknya tidak ditempatkan sebagai bagian dari asas hukum umum dalam RKUHP

References

BUKU

Ambos, K. (1999). General Principles of Criminal Law in the Rome Statute, Criminal Law Forum 10: 1-32. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.

Hartono, S. (1991). Politik Hukum, Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: PT Alumni

Lamintang, P A F. (1984). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Sinar Baru.

Mertokusumo, S. (2005), Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty.

Pohan, A., Santoso, T., Moerings, M. (Ed). (2012). Hukum Pidana dalam Perspektif. Denpasar: Pustaka Larasan. Saptaningrum,

ID dkk. (2007). Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Tinjauan terhadap Gagasan, Konseptualisasi dan Formulasinya. Elsam dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Schaffmeister, D dkk. (1995). Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.

Setiadi, T. (2008). Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan. Bandung: Alfabeta.

Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. Cet 2. Semarang: Yayasan Sudarto, FH Undip.

Tamahana, BZ. (2006). A General Jurisprudence of Law and Society. Oxford University Press.

Wignjosoebroto, S. (2014). Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Seri Sosio-Legal Indonesia). Jakarta: Epistema Institute, HuMA, Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan KITLV

Artikel Jurnal

Faure, M., Goodwin, M., & Weber, F. (2014). The Regulator’s Dilemma Caught Between the Need for Flexibility & The Demand of Foreseeability, Reassessing the Lex Certa Principle. Albany Law Journal, 283-364.

Hadi, S. (2017). Kekuatan Mengikat Hukum dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Positivisme Hukum. Legality, 25(1), 86-97.

Jain, N. (2016). Judicial Law Making and General Principles of Law in International Criminal Law, 57 Harv. Int’l L. J, 111-150.

Mulyadi, L. (2013). Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(2), 232.

Putri, NS. (2018). Perlindungan Masyarakat Adat Dalam Hukum Pidana Indonesia: Kajian Terhadap Konsep Hukum Yang Hidup Dalam Pasal 2 RUUHP. Paper, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi V, Padang.

Suhariyanto. (2018). Problema Penyerapan Adat oleh Pengadilan dan Pengaruhnya bagi Pembaruan Hukum, Mimbar Hukum, 30(3), 421-436.

Sukadana, I.K., Sudibya, D.G., & Karman, N. (2021). Sanksi Kasepekang Dalam Hukum Adat Bali. Kertha Wicaksana: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa, 15 (1), 72-79.

Zakaria, RY. (2014). Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya terhadap Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK No 35/PUU-X/2012 Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Wacana, Jurnal Transformasi Sosial, XV(33), 103-141.

Included in

Criminal Law Commons

COinS