Abstract
Franchising is a business system that makes it easy for entrepreneurs to expand their marketing. Therefore, before running a franchise business, the parties must make a franchise agreement that aims to protect the interests of the parties properly. A franchise agreement made in written form can be the basis or evidence if one of the parties defaults. However, there are still franchise businesses that make agreements in the form of unwritten or verbal actors, even though PP 42/2007 and Permendag 71/2019 require written agreements. This is what becomes between the franchisor and the franchisees involved in the franchise business as stated in verdict No. 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. verdict No. 396/PDT/2021/PT DKI. In addition, the franchise agreement involves a foreign party as the franchisor and a party in Indonesia as the franchisee. However, during the franchise business activity, the parties have also made a term sheet agreement which is only written in English, even though this is contrary to Law 24/2009. This only applies to the validity of agreements and agreements made in foreign languages. In addition, the franchisor in this case terminates the cooperation unilaterally without asking for a request through the court which is detrimental to the franchisee. Therefore, it is necessary to examine the validity of the franchise agreement which is the basis for the legal protection of franchisors and franchisees.
Bahasa Abstract
Sebelum menjalankan bisnis waralaba, para pihak harus membuat perjanjian waralaba dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila para pihak adan yang melakukan wanprestasi. Namun, masih terdapat pelaku usaha waralaba yang membuat perjanjian dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, meskipun PP 42/2007 dan Permendag 71/2019 menghendaki perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang menjadi pertentangan diantara franchisor dan para franchisee yang terlibat dalam bisnis waralaba sebagaimana hal tersebut dituangkan dalam Putusan No. 52/Pdt.G/2019/Pn. Jkt. Pst jo. Putusan No. 396/PDT/2021/PT DKI. Selain itu, perjanjian waralaba tersebut melibatkan pihak asing sebagai franchisor dan pihak di Indonesia sebagai franchisee. Akan tetapi selama kegiatan usaha waralaba berlangsung, para pihak juga telah membuat suatu perjanjian term sheet yang hanya ditulis dalam bahasa Inggris, meskipun hal tersebut bertentangan dengan UU 24/2009. Hal inilah yang memicu pertentangan mengenai keabsahan dari perjanjian waralaba dan perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing. Selain itu, franchisor dalam kasus ini melakukan pemutusan kerjasama secara sepihak tanpa meminta pembatalan melalui permohonan di pengadilan yang merugikan franchisee . Oleh karena itu, perlu meneliti mengenai keabsahan perjanjian waralaba yang menjadi dasar bagi perlindungan hukum franchisor dan franchisee
Recommended Citation
Ghassani, Fahira Zahara
(2022)
"Analisis Terhadap Kesepakatan Lisan Untuk Menjalankan Waralaba Sesuai Dengan Perjanjian Waralaba Yang Telah Berakhir (Studi Kasus Putusan Nomor 52/PDT.G/2019 jo. Putusan Nomor 396/PDT/2021/PT DKI,"
Lex Patrimonium: Vol. 1:
Iss.
1, Article 6.
Available at:
https://scholarhub.ui.ac.id/lexpatri/vol1/iss1/6
Included in
Civil Law Commons, Contracts Commons, Family Law Commons, Torts Commons