•  
  •  
 

Abstract

On 21 December 2018, the European Union (EU) issued a regulation titled Renewable Energy Directive II (RED II), where the RED II policy introduced the indirect land use change (ILUC) criteria for palm oil. RED II states that palm oil is classified as a commodity with a “ high ILUC risk” type, and as such, the EU will gradually reduce palm oil consumption and no longer use palm oil by 2030. Indonesia brought this issue to WTO in 2020. Indonesia, through its consultation, argued that the RED II is inconsistent with the few provisions of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994, particularly under the National Treatment obligation. Indonesia argued that the measures derived from the RED II policy might cause discrimination against palm oil-based biofuel, considering RED II classifies palm oil as a high ILUC-risk commodity. Such discrimination occurs by gradually reducing the use of palm oil as a material for biofuels until it reaches zero percent by 2030. Further, Indonesia assumed that the RED II policy prioritizes other vegetarian oil produced in the EU countries, such as sunflower and rapeseed. This paper will analyze whether the RED II policy may be considered discriminative measures by the EU to palm oil producer countries under WTO regulations. Hence, such RED II policy is likely inconsistent with Article III:4 of the GATT 1994 regarding National Treatment

Bahasa Abstract

Pada tanggal 21 Desember 2018, Uni Eropa (UE) menerbitkan peraturan berjudul Renewable Energy Directive II (RED II), dimana kebijakan dari RED II memperkenalkan kriteria perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung atau ILUC. RED II menyebutkan bahwa kelapa sawit diklasifikasikan sebagai komoditas dengan jenis “risiko ILUC yang tinggi” dan oleh karena itu, Uni Eropa akan secara bertahap mengurangi konsumsi kelapa sawit secara bertahap dan tidak akan menggunakan kelapa sawit pada 2030. Indonesia membawa masalah ini kepada WTO di tahun 2020. Indonesia melalui konsultasinya, berpendapat bahwa RED II tidak konsisten dengan beberapa ketentuan pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994, khususnya berdasarkan kewajiban perlakuan National Treatment. Indonesia berpendapat bahwa kebijakan yang berdasarkan REDD II dapat mengakibatkan diskriminasi pada kelapa sawit dan produk turunannya mengingat RED II mengklasifikasikan minyak sawit sebagai komoditas dengan risiko ILUC yang tinggi. Diskriminasi tersebut terjadi dalam bentuk pengurangan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biofuel secara bertahap sampai mencapai presentase nol persen pada 2030. Selanjutnya, Indonesia berasumsi bahwa kebijakan RED II memprioritaskan minyak nabati lain yang diproduksi dalam negara-negara Uni Eropa, seperti bunga matahari dan rapeseed. Tulisan ini akan menganalisa apakah kebijakan RED II dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif oleh UE kepada negara yang memproduksi minyak sawit berdasarkan peraturan WTO. Oleh karena itu, kebijakan RED II menurut pendapat saya kemungkinan tidak sesuai dengan Pasal III:4 dari GATT 1994 mengenai National Treatment.

Share

COinS